Islam di Atas Mazhab, Hadiah Natal Imam Khomeini


Islam di Atas Mazhab, Hadiah Natal Imam Khomeini - Penulis dan pemikir Lebanon, Dr. Hasan Az-Zain, mengatakan bahwa Imam Khomeini merupakan wakil dari sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Nama Khomeini identik dengan pergerakan Islam dan sesuatu yang suci dan abadi. Tidak mungkin memisahkan gagasan Imam Khomeini dan pergerakan yang dihasilkan dari pandangannya tentang apa yang terjadi di seluruh dunia Islam dan lainnya. Ide dan jalan Imam tak hanya hidup tapi juga menghidupkan. Imam Khomeini diakui memiliki karakteristik yang mulia. Dengannya ia menghasilkan gelombang pasang surut revolusi Islam dan mengembalikan kebenaran, keadilan, kebebasan, persaudaraan, pengorbanan dan kebajikan kepada masyarakat.

Bahkan non-muslim terkesan dengan kepribadian dinamis Imam Khomeini. Seorang dokter asal Prancis, Dr. Louie, yang masih remaja pada akhir tahun 1978, bercerita ketika imam menjadikan sebuah desa di Paris, Neauphle lè Château. Imam menjadi desa kecil itu sebagai tempat tinggal sementara sebelum kepulangannya yang bersejarah ke Tehran dari pengasingan. Dr. Louie mengisahkan:

Suatu hari dalam perjalanan menuju rumah dari sekolah, aku melihat keramaian orang-orang di gang yang mengarah ke tempat tinggalku. Ada beberapa wartawan dengan kamera menggantung di dada mereka. Mereka mengintai ke dalam taman dari atas pintu gerbang taman yang terbuat dari kayu hijau. Aku berusaha masuk ke dalam kerumunan. Tapi semakin berusaha masuk, semakin sulit aku mencari tahu.

Aku bertanya kepada seorang wartawan apa yang terjadi. Dia mengatakan banyak peristiwa penting akan terjadi. Dia bertanya apakah aku tinggal di desa itu.

“Ya, rumah kami ada di sana,” tunjuk aku ke sebuah rumah.

“Desa kamu akan menjadi desa paling terkenal di dunia,” kata wartawan itu. “Aku tidak mengerti maksudmu. Peristiwa penting apa yang akan terjadi di desa kami?” tanyaku.

“Kamu pernah dengar nama Ayatullah Khomeini?” tanyanya.

Nama itu tidak asing bagiku. Aku telah mendengar nama itu beberapa kali dari radio dan televisi serta foto di surat kabar. “Maksudmu pemimpin agama Iran?” tanyaku pada wartawan.

“Tepat. Dia sudah tiba di desa ini. Dia akan menjadi tetanggamu,” katanya.

Wartawan itu melanjutkan bahwa ia dan rekannya sedang menunggu izin dari Ayatullah Khomeini untuk wawancara. Saya semakin penasaran untuk melihat pribadi besar ini. Setiap pertemuan bisa menjadi bahan pembicaraan di depan teman-teman kelas.

“Akankah mereka mengizinkanku masuk jika aku menunggu?” tanyaku.

“Saya tidak tahu,” jawabnya, “kamu harus tanya orang yang berdiri di samping pintu taman.”

Aku segera meninggalkannya dan bertanya kepada orang yang bertugas apakah aku punya kesempatan untuk bertemu dengan Ayatullah Khomeini.

“Kami tinggal beberapa langkah dari sini. Bisakah aku mengunjungi Ayatullah Khomeini?” tanyaku.

“Apa yang kamu ketahui tentangnya?” dia bertanya padaku.

“Aku tahu Ayatullah Khomeini adalah pemimpin agama Iran. Koran memuat foto-fotonya setiap hari.”

Pria itu berpikir sejenak dan bertanya apakah ada orang lain selainku yang ingin bertemu Ayatullah Khomeini. Aku menunjuk wartawan itu dan berkata, “Mereka juga ingin. Aku berjanji untuk melihatnya sebentar dan tetap menjaga ketenangan.”

Beberapa detik kemudian pintu gerbang taman terbuka lebar untukku. Ayatullah Khomeini adalah orang tua dengan wajah bersinar yang memakai jubah keagamaan dan serban hitam di kepalanya. Aura spiritual mengalir darinya. Aku berpikir sejenak bahwa Al-Masih (Yesus) ada di hadapanku.

Satu jam sudah berlalu sejak aku masuk dan aku tidak membayangkan betapa cepatnya waktu berlalu. Aku kembali ke rumah dan memberi tahu ibu. Aku bertanya, “Apakah kedatangannya membuat desa kita bermasalah?”

“Saya pikir tidak, tapi ayahmu sedang mencari ketenangan dan sepertinya sudah tidak akan ada lagi ketenangan di sini,” jawabnya.

Ibu benar. Hari itu ayah kembali ke rumah setelah bekerja. Ia marah. Sambil melepas mantel, ia duduk di sofa dan mengeluh, “Tahun ini aku terus dibuntuti kegagalan. Di satu sisi perusahaan menghadapi kebangkrutan dan di sisi lain, desa kita kehilangan kedamaiannya.”

Ibuku menghiburnya dengan berkata, “Jangan khawatir, koran menulis kalau Ayatullah Khomeini akan pergi dalam beberapa hari lagi ke Iran, jadi tempat ini akan menjadi damai kembali.”

Beberapa hari sebelum Natal, aku mulai tidak semangat dengan pekerjaan rumah. Imam Khomeini terus menguasai pikiranku. Aku mengatakan kepada ayah kalau ingin melihat seseorang, yang mengilhami perasaan yang sama seperti Yesus, maka ia harus datang dan mendengar Ayatullah Khomeini.

Berbeda dengan harapanku, ayah memutuskan untuk mengadu kepada polisi. Aku kehilangan kesabaran dan bertanya mengapa ia menolak untuk melihat Ayatullah Khomeini.

“Dia sama seperti penceramah agama lainnya. Dia pasti hanya akan memberikan nasihat,” kata ayah.

“Ayah selalu menasihati aku untuk tidak berburuk sangka. Saya pikir ayah orang yang rasional… dia akan berpidato pada hari ini. Ayo kita pergi mendengarkannya, setidaknya demi putramu. Ayah bisa pergi kalau tidak puas,” kataku pada ayah.

“Kapan kita harus pergi?” tanya ayah.

“Kurang dari setengah jam lagi. Dia terbiasa dengan tepat waktu,” kataku dengan empati.

Ketepatan waktu Ayatullah Khomeini sangat mengesankaku. Dia datang tepat waktu dan duduk di tempat biasa di mana dia bertemu wartawan. Semua berdiri sebagai tanda penghormatan kepada ayatullah agung ini. Dia duduk di bawah pohon rindang dan mulai berbicara dengan tenang dengan suara yang lembut. Penerjemah bersiap menyampaikan pidatonya ke dalam bahasa Perancis.

Beberapa menit kemudian, aku melihat wajah ayah. Dia mendengar dengan seksama. Ada sinar dari air matanya dan tampak jelas ia sangat terkesan oleh Ayatullah Khomeini. Aku bernapas lega. Di hari lain, kami juga mendengarkan Ayatullah Khomeini dan ayah tidak lagi marah.

Di malam kelahiran Yesus, kami sedang duduk untuk merayakannya, ketika tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ayah menuju pintu dan aku mengikutinya. Seseorang dengan buket kembang dan sekotak permen, berkata, “Ini hadiah dari Ayatullah Khomeini. Dia mengucapkan selamat kepada kalian di hari kelahiran Yesus (salam baginya) dan menyampaikan maaf dengan hormat kalau mengganggu perayaan Natal dan kehadirannya mengganggu desa.”

Ayah menerima bunga dan kotak permen itu. “Sampaikan terima kasih kepadanya.” Ayah berdiri kagum pada semua cinta dan kasih sayang yang diberikan. Dia masuk ke ruangannya tanpa berkata apa-apa lagi. Beberapa menit kemudian aku mendengarnya menangis.

Ibu bertanya apa yang terjadi. Aku bergegas menujunya untuk menjelaskan. “Tahun ini Al-Masih memberi kita hadiah; bunga dan permen.”

Kisah Dr. Louie di atas menjadi pelajaran praktis dari seorang ulama rujukan agama (marjak). Pelajaran bagi kita semua tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku selama musim liburan ketika lebih dari separuh dunia merayakan kelahiran Nabi Isa alaihisalam. Apakah kita hanya mengatakan “perayaan (Natal) bukan buat saya, tidak ada hubungannya dengan saya” atau “saya tidak tertarik dengannya” dan sebagainya, atau kita menggunakan kesempatan ini untuk kerja tablig (dakwah) dan menggambarkan kepada dunia betapa indahnya Allah Swt., menjelaskan sucinya kelahiran Nabi Isa a.s. dan kedudukan spiritual ibunya, Sayidah Mariam a.s., dalam Alquran?

Disebutkan bahwa peristiwa ini tidak hanya menginspirasi Dr. Louie tapi juga banyak lainnya di Perancis, untuk mencari tahu dan meneliti Islam dan khususnya Syiah.

Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010