PESIMISME DAN HARAPAN - Selalu menarik untuk kembali pada atavisme Yunani klasik yang kaya akan parabel-parabel dan sarat akan perenungan.
Prometheus yang terkungkung pada pilar Zeus, sebagai juru selamat umat manusia sekaligus martir abadi akibat pembangkangannya, tersingkir dari pengampunan yang bahkan tak sudi untuk dia lakukan. Ia harus pasrah kala elang datang setiap hari mengoyak hatinya yang tumbuh kembali dalam semalam -- ah!! Kalian lihatlah ketidakadilan yang aku derita!!.
Manusia selalu memandang kejahatan sebagai sesuatu yang tabu, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini kejahatan tetap eksis.
Kejahatan lahir dari konsekuensi -konsekuensi kosmik sebagai entitas dual, selalu dipandang hitam dan putih, jahat-baik -- diferensiasi akut yang kemudian diterima secara taken for granted.
Pada dasarnya kita hanya selalu menerima kejahatan sebagai sesuatu yang apa adanya, tanpa mencari justifikasi yang menopang setiap kejahatan itu, pun sama dengan kebaikan -- jahat adalah jahat, baik adalah baik, begitulah cara kita memandang setiap fenomena yang terjadi.
Tapi apakah jahat-- baik adalah hukum yang universal? Apakah ia selalu relevan dengan setiap fenomena kosmos?
Seekor singa lapar dengan seekor rusa sama sama survive dengan cara memangsa dan lari dari pemangsa.
Kejahatan selalu inheren dengan kesakitan, bahkan walaupun kita berharap kebahagiaan adalah tujuan kita, sebagaimana para teolog dan filsuf busuk mendeskripsikan tujuan. Kesakitan adalah tembok yang membentengi kita dari apa yang kita yakini sebagai tujuan.
Tak ada yang menikmati kesakitan lebih baik daripada Nietzsche, perjalanan panjang tentang penderitaan membuatnya sampai pada kesubtilan. Kesakitan menumbuhkan sensibilitas dalam dirinya, tapi umumnya manusia dalam kesakitan dan penderitan begitu sulit untuk sekadar menumbuhkan sedikit optimisme.
Pemaknaan terhadap penderitaan adalah sebuah perlawanan atas moralitas yang selama ini menjadi belenggu manusia. Tuhan selalu menciptakan kontradiksi yang absurd, begitupun dalam entitasnya yang absurd pula.
Tembok tidaklah runtuh, kecuali kematian tuhan secara definitif, kita yang terangkat diatas sebuah tembok harapan kemudian jatuh lagi. Tapi betapapun penderitaan berarti, seekor anjing selalu menganggap setiap penderitaan adalah penderitaan pertamanya.
Kini kita telah meruntuhkan singgasana tuhan, meruntuhkan ketidakadilan serta mengharapkan keadilan kemanusiaan, tapi sebagaimana harapan awal yang telah terkubur, kita kembali menciptakan ketidakadilan itu, kejahatan selalu eksis tanpa diminta.