Pansos Di Sosial Media Adalah Bentuk Nyata Sebuah Kegagalan Membangun Hubungan Di Dunia Nyata


Pansos Di Sosial Media Adalah Bentuk Nyata Sebuah Kegagalan Membangun Hubungan Di Dunia Nyata - Menurut Psikiater dari rumah sakit Priory, Roehampton, Natasha Biljani, mengenai sisi buruk bersosial media.

Ia mengemukakan risiko yang ditawarkan internet terhadap kesehatan mental generasi muda. Menurutnya, internet membawa fenomena penindasan dan keterbukaan seksual yang berdampak negatif.

Semua itu dimungkinkan oleh dua hal, yakni akses informasi yang luas dan komunikasi anonim. Netizen secara bebas menindas seseorang yang tak ia sukai melalui internet dengan identitas disamarkan. Ini yang disebut kejahatan maya.

Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk melampiaskan ekspresi. Entah berupa ekspresi ketertarikan, penasaran, kekesalan, kesepian dan amarah. Seseorang berperluang melarikan diri ke dunia maya karena merasa lebih aman dan bebas.

Namun, kebebasan inilah yang justru membuat keadaan semakin memburuk, alih-alih ingin menemukan sebuah hiburan, justru kita malah menjadi hiburan itu sendiri di kalangan friendlist yang kita miliki.

Sudah banyak orang-orang yang lupa dengan kesadaran mereka sebagai manusia dalam bersosial media.

Seperti beberapa waktu yang lalu ketika ada seseorang yang memposting sebuah keluhan tentang upaya bunuh diri, bukan dicegah, justru para friendlistnya seakan mendukung upaya tersebut dengan dalih,

"Alah, mungkin pansos doang"

Sebenarnya, tidak ada kebenaran diantara keduanya, karena komentar-komentar tersebut muncul karena praduga mengingat riwayat korban dalam bersosial media serta pemilihan friendlist.

Jika dalam bersosial media kita berteman dengan orang-orang yang positif, dukungan moral dari beberapa netizen tentunya pasti ada.

Pansos sendiri memiliki banyak ciri, tapi yang paling banyak adalah komentar celaan yang disembunyikan dalam sebuah candaan.

Berkomentar merendahkan orang lain dan melucu garing dalam narasi yang tidak tepat untuk dilucukan.

Dan setelah melewati debat panjang, argumenya akhir bisa ditebak,

"Baperan, Lu!"

Seolah argumen ini adalah komentar pamungkas yang melarang kita untuk melakukan pembelaan dan menjadi titik akhir permasalahan.

Sebuah penelitian, yang baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal Computers in Human Behaviour, mengungkapkan bahwa semakin kesepian seseorang maka semakin sering dia menggunakan jejaring sosial media.

Penelitian yang digelar oleh Hayeon Song pakar komunikasi dari Universitas Wisconsin Milwaukee, Amerika Serikat menemukan bahwa kesepian membuat orang lari ke sosial media dan bukan sosial media yang menyebabkan seseorang kesepian.

"Dibandingkan dengan mereka yang tidak kesepian, orang-orang kesepian menghabiskan lebih banyak waktu di sosial media, Para pemalu atau yang tidak punya banyak teman secara sosial cenderung menggunakan sosial media sebagai kompensasi minimnya kemampuan mereka dalam membangun hubungan di dunia nyata," jelas Song.