Rangkuman Sejarah 'Anti Maintream' yang Pernah Terjadi di Indonesia!

Gambar Ini Hanya Meme Belaka yang Tidak Bermaksud Menyinggung Siapapun


Rangkuman Sejarah 'Anti Maintream' yang Pernah Terjadi di Indonesia! - Masa Bersiap

Masa bersiap adalah suatu fase sejarah Indonesia yang ‘gelap’. Mengapa gelap? Karena pejuang-pejuang kita pernah melakukan pembunuhan kepada Orang-orang Jepang, Belanda kaum Indo-Belanda pasca kemerdekaan dan kalahnya Jepang. Kejadian ini berlangsung tidak terlalu lama, sejak 17 Agustus 1945 hingga awal 1946. Kenapa disebut “Masa Bersiap”? 

Asal-usulnya adalah dari aba-aba pejuang kemerdekaan yang meneriakkan “Siaaap!” ketika ada orang asing masuk kampung. Kolumnis Belanda, J.A.A. van Dorn menyebut bahwa Masa Bersiap bukan hanya sekadar pembunuhan atau penjarahan saja, melainkan lebih dari itu. 

Ia menyebut bahwa ini adalah bentuk pemberontakan sosial yang menggunakan kekerasan bersenjata, yang juga menunjukkan sentimen nasional, dan ditujukan kepada kembalinya penjajahan. Bagi saya, Masa Bersiap dan kejadian sejenis di negara-negara jajahan pasca-kemerdekaan merupakan konsekuensi logis akibat penerapan hukum dan kebijakan berbasis etnis dan ras yang jamak dilakukan negara kolonialis Eropa di jajahannya. (https://historia.id/politik/articles/siaaap-zaman-bersiap-v2KaP)


  • Serangan Umum 1 Maret, Soeharto Malah Makan Soto Babat


Kala itu Kapten Abdul Latief berhasil meloloskan diri bersama anak buahnya dari kepungan Belanda. Dua anak buahnya gugur, 12 luka-luka. 

Sementara 50 orang dari laskar gerilya tewas karena tertembus peluru. Dengan kepayahan dan berlumuran darah, mereka bermaksud menuju ke markas gerilya di Kuncen, sebelah barat Yogyakarta. Latief, dalam tulisannya berjudul “Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto” yang dimuat di laman penerbit Hasta Mitra, mengungkapkan:

“...pada penyerangan total kota Yogyakarta dan terkenal enam jam di Yogyakarta, pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta [Beringharjo]. Kira-kira pada jam 12.00 siang hari, bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai markas gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,”

M. R. Siregar dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007) juga menuliskan kisah Latief ini. Tanpa ikut mengajak Latief makan soto babat, sekalipun hanya basa basi seperti sifat Orang Jawa pada umumnya, Soeharto segera memerintahkan Latief untuk kembali berperang menggempur Belanda yang masih ada di sekitar situ.

 Latief juga menceritakan kisahnya kepada Soebandrio, mantan Wakil Perdana Menteri, yang juga ia tulis di dalam bukunya, Kesaksianku Tentang G-30-S (2000). (https://tirto.id/sejarah-serangan-umum-1-maret-1949-soeharto-jajan-soto-saat-perang-diaZ)

  • Pembelian Pesawat A-4 Skyhawk TNI-AU Dari Israel

Di awal 1980’an, TNI-AU sedang mencari pengganti dari pesawat F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird yang sudah menua. A-4 Skyhawk dipandang sebagai pengganti yang ideal, karena selain punya pengalaman tempur juga bisa menembakkan senjata-senjata terbaik khususnya rudal anti-radiasi yang fungsinya untuk menghancurkan radar darat.

 Dan kebetulan, ada sebuah negara yang mau melepas A-4 Skyhawknya dengan harga miring sebanyak 32 buah. Negara itu adalah: Israel. Alasan Israel adalah ingin menggantikan A-4 Skyhawk dengan pesawat yang lebih modern, F-16 Fighting Falcon. Sementara, sentimen anti-Israel di Indonesia sangatlah kuat di kalangan masyarakat.

 Maka untuk menutupinya, dilancarkanlah operasi covert untuk memperoleh Skyhawk tanpa menimbulkan gejolak masyarakat. Operasi Alpha, adalah nama untuk operasi tersembunyi ini. 

Difasilitasi oleh Benny Moerdani, tangan kanan Soeharto yang menjabat sebagai Asisten Intelejen Pertahanan dan Keamanan di Badan Intelijen ABRI (BIA). Maka operasi ini diawali dengan mengirim pilot untuk pelatihan. Mereka diterbangkan dari Jakarta menuju Singapura, setelah dari Singapura mereka lanjut terbang ke Frankfurt, Jerman untuk transit, lantas menuju Tel Aviv, Israel.

Mereka dilatih di sebuah base rahasia milik Israel yang terletak di sebuah gurun. Pelatihannya tidak main-main. 

Konon selama pelatihan, berdasarkan penuturan anggota forum militer senior di grup facebook yang saya ikuti, ada saat dimana para pilot TNI-AU diperintahkan untuk menerobos wilayah udara Suriah yang merupakan musuh abadi Israel. 

Kegiatan ini dijaga oleh F-16 AU Israel. F-16 ini berfungsi untuk menjaga dan mencegat seandainya ada pesawat tempur AU Suriah yang muncul, dan menembak pilot-pilot TNI-AU (!) seandainya mereka ada gelagat atau benar-benar melakukan pembelotan dan kabur ke negara lain. Sebelumnya Benny Moerdani mengatakan kepada para pilot ini:

“Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian,”.

Setelah latihan selesai dan para pilot dinyatakan lulus, ijasah dan brevet beserta lencana yang diperoleh dari pelatihan militer mereka di Israel dimusnahkan dengan cara dibakar untuk menghilangkan jejak. Setelah dari Israel, para pilot TNI-AU diterbangkan ke Amerika Serikat. Mereka berlibur sambil berfoto-foto di berbagai tempat termasuk di markas militer AU AS. Tujuannya lagi-lagi untuk menyamarkan jejak mereka sepulang dari Israel.

 Pengiriman pesawat dari Israel ke Indonesia juga tak kalah unik. A-4 Skyhawk disamarkan dalam kontainer yang bertuliskan merek pesawat lain, F-5E Tiger II yang kebetulan juga dibeli TNI-AU. Kapal pengangkutnya pun konon pernah berganti warna dalam perjalanan dari Israel ke Indonesia untuk tujuan penyamaran. Sesampainya A-4 Skyhawk di Indonesia, pesawat ini langsung mengikuti hari peringatan ABRI 5 Oktober bersama dengan F-5E Tiger II. Meskipun ditutup-tutupi, para wartawan dan pers yang sangat mengenal alutsista militer sudah mengetahui bahwa A-4 Skyhawk Indonesia dibeli langsung dari Israel. Yang membedakan adalah, exhaust atau knalpot buangan jet pada A-4 Skyhawk milik Israel lebih panjang daripada A-4 Skyhawk asli dari Amerika Serikat. (https://tirto.id/cgft dan https://historia.id/politik/articles/diam-diam-indonesia-beli-pesawat-tempur-israel-DnEGa)

  • Pelatihan Intelijen Indonesia Oleh Intelijen Israel

Pada awal 1965, Kol. Nichlany Soedardjo selaku Asisten Intelijen di Polisi Militer mengawasi pembentukan unit intel khusus di tubuh Polisi Militer. Tujuannya tidak lain adalah untuk melacak jejak para anggota PKI. Pada tahun 1968, Nichlany pun juga menyampaikan perlunya sebuah unit baru yang bertugas melakukan tugas-tugas kontra-intelijen asing terutama dari negara-negara rezim komunis. 

Untuk unit tersebut, Mayor Nuril Rachman selaku komandan Den Pintel Pom menyiapkan 60 orang (10 perwira aktif dan 50 orang sipil). Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan peralatan dan biaya besar. Nichlany yakin dapat menyediakannya setelah Ed Barber dari CIA datang ke markas Polisi Militer. 

Hingga akhir tahun 1968, Amerika Serikat memberikan bantuan dana terus menerus untuk menggaji 60 personel ini dan keperluan operasional lainnya. Selain CIA, badan intelijen Inggris MI6 juga turut memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan. Pada 1970, datanglah seorang WN Inggris bernama Anthony Tingle untuk melakukan pelatihan kepada unit ini selama 4 minggu.

 Pusat pelatihan terletak di Cipayung, yang merupakan tempat berlibur milik istri Soekarno yang disita, Ratna Sari Dewi. Tingle kuat dugaan adalah seorang Mossad, karena pelatihan yang dia ajarkan adalah spesialisasi Mossad yaitu perekrutan agen dengan cara berpura-pura. Dia tak pernah senyum, tertawa, atau menyelipkan humor selama mengajar dan di luar mengajar. 

Tahun 1973, Mossad mengirimkan pelatih keduanya untuk mengajari cara melakukan kontra-spionase. Jenderal TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, membenarkan bahwa intelijen Indonesia bekerja sama dengan intelijen Inggris dan Israel. Soemitro mengatakan alasan mengapa bekerja sama dengan intelijen Inggris dan Israel, karena kedua intelijen dari negara ini sangat peka dengan masalah Komunisme. (https://historia.id/militer/articles/intel-indonesia-dilatih-intel-israel-v54L3)


  • Khalwat/Kaderisasi Sebulan (Khasebul) Pater Joop Beek

Membicarakan Pater Joop Beek tidak akan pernah terlepas dari seorang Bartholomew Augustine Santamaria, seorang intelektual dan aktivis Anti-Komunis Katolik Roma di Asia Tenggara. Santamaria tentu saja dibantu oleh Frank Mount, operator jaringan Anti-Komunisnya di Asia Tenggara. 

Keunikan dari mereka adalah, dalam menjalankan agenda Anti-Komunisnya, mereka menyandarkan pada unsur keagamaan dari agama Kristen Katolik, karena sebagaimana yang kita tahu kecuali di Filipina, Kristen Katholik adalah agama minoritas di Asia Tenggara. Di Indonesia, Santamaria menggantungkan agendanya kepada sekelompok orang yang berada di lingkaran seorang imam Yesuit, Pater Josephus ‘Joop’ Gerardus Beek, SJ. Dia adalah figur yang sangat kontroversial, tidak saja didalam kongregasi Serikat Yesus (biasa disebut ‘Yesuit’ atau ‘Serikat’ saja), tapi di dalam Gereja Katolik Indonesia, dan juga dalam sejarah politik negeri ini. Kiprah politiknya membuat dia seringkali berbenturan dengan hirarki gereja dan juga dengan rekan-rekannya sesama Yesuit serta imam-imam di luar Yesuit.

 Beberapa kali dia harus ‘diperiksa’ dan ‘diliburkan’ dari tugasnya. Namun pada saat itu, Beek memiliki jaringan kuat di lingkaran kekuasaan Soeharto. Keadaan ini menyulitkan pihak gereja Katolik dan Yesuit untuk mengambil tindakan keras karena khawatir akan menimbulkan berbagai kesulitan.

Pastur Katolik ini juga dikenal memiliki pusat pengkaderan yang dikenal dengan nama Khalwat Sebulan (Khasebul). Kelak, kader-kader hasil didikan Khasebul ini banyak yang menjadi operator-operator politik di bawah kendali asisten-asisten pribadi Soeharto, khususnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. 

Mereka memiliki pengaruh yang amat besar pada masa-masa awal Orde Baru. Praktis merekalah yang menciptakan rancang bangun politik Orde Baru. Selain itu, mereka juga terlibat dalam dua peristiwa besar yaitu penentuan pendapat rakyat atau Pepera 1969 di Papua (lebih dikenal dengan nama Irian Jaya pada jaman Suharto) dan aneksasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia 1975. 

Dalam pandangan Mount, Beek adalah seorang yang sangat anti komunis sekaligus sangat konservatif. Tujuannya melatih kader-kader kaum muda Katolik tidak lain daripada melindungi komunitas Katolik dan Kristen yang kecil. Pada awalnya dari ancaman Partai Komunis dan kemudian dari ancaman golongan Islam yang semakin menguat pasca pengganyangan PKI. 

Namun, sekalipun menjalani kehidupan yang sangat asketik sebagai Yesuit, Beek juga berpikiran liberal sebagaimana umumnya Yesuit yang berasal dari Belanda.

Dalam hal ini, ketika golongan religius Islam tampil sebagai pemenang pasca pengganyangan PKI, ketika dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan tentara atau dengan golongan Islam, kader-kader Beek kemudian memilih yang pertama.

 Mereka mempopulerkan prinsip ‘minus malum’ atau ‘the lesser of two evils’ yakni sebuah sikap untuk mengambil yang paling kurang keburukannya ketika dihadapkan pada dua pilihan buruk. Kader-kader Beek mendefinisikan situasi pilihan ketika itu adalah antara berpihak pada militer atau kepada golongan Islam. Pilihan jatuh pada aliansi dengan pihak militer. 

Di tingkat nasional, kader-kader Beek adalah sekumpulan anak-anak muda kelas menengah atas – sebagian adalah keturunan Tionghoa – yang terbiasa bergaul dengan kalangan elit politik baik sipil maupun militer. Latar belakang ini membuat mereka agak terisolasi dengan keadaan di daerah-daerah, khususnya yang berkaitan dengan pembantaian massal tahun 1965.

Ketika menjalankan Konggregasi Maria (atau Sodality of the Blessed Virgin Mary; yang sudah berdiri sejak 1563), Beek sudah menerapkan latihan-latihan yang disebutnya Khalwat – yang artinya pengasingan diri atau ‘retreat’ — untuk para sarjana dan mahasiswa. Khalwat ini diberikan dalam waktu sebulan. Pesertanya datang dari seluruh Indonesia. 

Rekrutmen dilakukan lewat paroki-paroki. Dia membentuk Konggregasi Maria untuk para sarjana, mahasiswa, dan mereka yang sudah bekerja namun bukan sarjana. Kelompok ketiga ini disebutnya sebagai kelompok Pemuda Karya (sic). Rekrutmen untuk anggota-anggota Konggregasi Maria dilakukan lewat paroki-paroki. 

Namun ada sumber penting lain untuk mendapatkan kader-kader yang lebih ‘intelek.’ Beek memiliki akses ke organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti PMKRI dan Pemuda Katolik. 

Kedua organisasi ini merupakan lahan subur untuk merekrut anggota. Dari sinilah sesungguhnya Beek mengembangkan metode-metode pelatihan. Sekalipun dibungkus dengan metode Latihan Rohani Ignatian yang khas Yesuit, tujuan dari pelatihan-pelatihan ini lebih untuk melatih militansi, membentuk kader, menyusun organisasi, dan membuat mekanisme ‘pelaporan situasi’ yang bekerja mirip seperti sistem intelijen dimana Beek mengendalikan para kader ini. Pada akhir tahun 1966, Beek memulai program Khasebul (Khalwat Sebulan) yang pesertanya khusus mahasiwa. Ini meneruskan program kaderisasi yang sudah dia lakukan di dalam Konggregasi Maria. 

Hanya saja, pesertanya dibatasi pada mahasiswa saja. Tidak terlalu jelas apa alasan yang membuat Beek mengeluarkan program kaderisasi ini dari Konggregasi Maria.

Soedjati Djiwandono, salah seorang anak didik Beek pernah menulis sekilas tentang metode pelatihan Beek di Mingguan Hidup Katolik. Menurut Soedjati, program Khasebul dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan Kaderisasi Dasar (Kadas), yang berlangsung seminggu. Pesertanya sekitar 20 orang. 

Pembimbingnya adalah kader Khasebul senior. Terkadang kadas ini juga didampingi oleh Pastur Paroki atau bahkan Pater Beek sendiri. Materi Kadas adalah hal-hal yang mendasar seperti demokrasi, ormas, dan organisasi politik (orpol). Dari peserta Kadas inilah direkrut peserta Khasebul.

 Umumnya, Khasebul diikuti oleh 30 orang yang dipilih dari berbagai daerah di Indonesia. Khasebul dilakukan empat kali dalam setahun. Pendidikan di dalam Khasebul terkenal sangat keras. Para peserta dituntut berdisiplin sangat tinggi. 

Mereka diajarkan organisasi, berbicara di depan umum (public speaking), melakukan analisis dan menulis laporan. Mereka juga mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh elit-elit Katolik (bahkan yang sederajat menteri) dan intelektual. Peserta juga harus berefleksi terhadap kelemahan-kelemahannya sendiri dan berusaha mencari jalan keluar dari kelemahan itu.

 Beek sendiri juga turun tangan dalam mengevaluasi kelemahan-kelemahan pribadi para peserta. Sanksi disiplin sangat keras. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan sering hukuman itu adalah hukum fisik seperti ditempeleng. Tidak jarang pula peserta dipulangkan sebelum menyelesaikan pendidikan. 

Baik mereka yang selesai menjalani kaderisasi maupun yang dikeluarkan di tengah jalan tidak akan pernah berbicara tentang Khasebul. Sama seperti NCC dari Santamaria, kader-kader hasil pendidikan Khasebul menjadi mirip seperti sebuah ‘secret society.’ Kultur kerahasiaan ini menjadi ciri khas kader-kader Beek. Mereka tidak pernah berbicara tentang kaderisasi atau proses kaderisasi. 

Namun, di dalam gereja Katolik, kadangkala orang mudah mengidentifikasi orang-orang Khasebul karena keaktifan mereka berbicara politik dan jaringan yang mereka miliki dengan elit-elit Katolik tingkat nasional. (https://indoprogress.com/2016/09/kamerad-dalam-keyakinan-pater-joop-beek-sj-dan-jaringan-ba-santamaria-di-asia-tenggara/)



  • Habibie Mau Jual Helikopter Ke Iran, Dijegal Benny Moerdani


Dalam rapat intelijen, Letjend. Benny Moerdani selaku Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib/Waka Bakin melaporkan bahwa Menristek B.J. Habibie dalam rapat kabinet menyatakan akan menjual helikopter Super Puma ke Iran. Rencana ini adalah bagian dari kerjasama perdagangan Indonesia-Iran tahun 1987 dalam bentuk imbal beli. Selama ini, Indonesia mengimpor minyak mentah dari Iran senilai 100-150 juta Dolar AS, sementara Iran mengimpor barang-barang dari Indonesia seperti jeans, tekstil, plywood, kopi dan sepatu. 

Tetapi, impor ini masih kurang berimbang bagi Iran. Iran masih harus membelanjakan 200 juta dolar AS agar neraca perdagangan kedua negara seimbang. Iran kemudian tertarik membeli helikopter Super Puma Indonesia. Nilainya jauh lebih tinggi dan bisa menyeimbangkan neraca perdagangan. Rencana ini menarik perhatian intelijen Indonesia untuk menelusurinya. 

Apakah Iran membeli helikopter kosong atau dengan senjata? Kalau dengan senjata, apa senjatanya? Itulah pertanyaan yang berkutat di kepala para intel militer. Karena kebetulan Iran sedang berperang dengan Irak di tahun itu. Dalam kajian jual beli senjata pada rapat intelijen, disimpulkan bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan dalam rencana jual beli ini.

 Iran hendak membeli helikopter bersenjata. Helikopter ini akan dipersenjatai rudal Exocet buatan Perancis-Jerman. Benny Moerdani menugaskan Teddy Rusdi untuk ke Perancis dalam rangka mengonfirmasi apakah penjualan rudal Exocet diizinkan oleh Perancis. Sesampainya di Perancis dan bertemu dengan pejabat perusahaan Euromissile selaku pembuat rudal Exocet setelah membuat janji ketemu, Teddy mengutarakan maksud pertemuannya tadi. Pejabat Euromissile itu terkejut dan menyatakan bahwa mereka tidak mengizinkan penjualan itu. 

Mereka juga menambahkan bahwa apabila hal itu terjadi, maka Indonesia bisa di-blacklist dan dituntut negara-negara NATO sekaligus mendapat embargo militer. Setelah pertemuan itu dan Teddy kembali ke Indonesia, Teddy menyampaikan hasil pertemuan itu kepada Benny Moerdani, dan Benny Moerdani menyampaikan kepada Soeharto. Soeharto hanya tersenyum, dan penjualan itu berhenti di tengah jalan. Bertahun-tahun setelahnya, pada 9 Januari 2012, Habibie menyangkal rencana penjualan helikopter plus rudal itu kepada Iran. (https://historia.id/militer/articles/rencana-indonesia-menjual-helikopter-ke-iran-Dnoe7)



  • Rongsokan Satelit ‘India’ Ditukar Kapal Perang Amerika Serikat


Sebenarnya ini peristiwa unik dan kontroversial. Kontroversial dan Unik, karena dalam peristiwa ini TNI-AL mendapatkan sekitar 4 kapal perang dari AL AS secara GRATIS. Ini dicatat di buku memoar Soedibyo Rahardjo, “The Admiral”. Suatu hari, India meluncurkan satelitnya. Sayang, satelit itu jatuh di Samudera Hindia dan terdampar di pantai Aceh. Asisten Operasi Kasum ABRI, Laksda TNI Soedibyo Rahardjo, segera mengirim pesawat C-130 Hercules untuk mengambil pecahan itu setelah mendapat laporan. Pilot pesawat pun sempat mengomel:

“Rongsokan gini aja kok harus dibawa ke Jakarta.”.

Soedibyo lalu segera menaruhnya di gudang khusus, karena ia yakin akan ada pihak yang berminat. Dan benar saja, Amerika Serikat ternyata berminat setelah mengetahui insiden ini, tapi tidak tahu harus berubungan dengan siapa. Atase Pertahanan AS kemudian mendatangi Soedibyo.

“Admiral, apakah aparat Anda menemukan sesuatu?”

Soedibyo menjawab:

“Tidak ada,”

“Ini ada report satelite was in a shore of Aceh.”
Soedibyo membalas:

“Ndak, ndak ada itu,”
Si atase itu menunjukkan gambar satelit lengkap dengan petanya. Lalu Soedibyo berlagak tidak tahu menjawab:
“Oh, ini maksudnya.... Ya, ini, kenapa?”

Atase Pertahanan AS tadi membalas:

“Ini bagian dari peluru kendali India. Yang kita ingin tahu metalurginya apa?”
Soedibyo pun bertanya:

“Metal ya? Diganti metal tidak?”

Si atase kebingungan:

“Maksudnya apa?”

Soedibyo langsung membalas:

“Ya, saya minta diganti kapal perang. You boleh ambil itu tapi kita dapat kapal,”

Si atase melapor ke atasannya di Washington DC. Dan mereka setuju. Alhasil, jadilah TNI-AL mendapat kapal perang secara gratis. Dan berdasarkan penelusuran lebih lanjut, kapal perang yang dimaksud adalah jenis Destroyer Escort/Kapal Perusak Kawal kelas Claud Jones. Pada 16 Desember 1974, lewat ‘cover’ program FMS (foreign military sales), Amerika Serikat melimpahkan 4 unit kapalnya kepada TNI-AL. Kapal-kapal tersebut oleh TNI-AL diubah namanya menjadi Kapal Perusak Kawal kelas Samadikun (Samadikun-class), yang terdiri dari KRI Samadikun – 341 (eks USS John R. Perry), KRI Martadinata – 342 (eks USS Charles Berry), KRI Monginsidi – 343 (eks USS Claud Jones), dan KRI Ngurah Rai – 344 (eks USS McMorris). Kapal-kapal ini terlibat dalam Operasi Seroja, invasi Indonesia ke Timor Leste. Besar kemungkinan, kejadian jatuhnya rongsokan satelit dan tawar menawar antara Laksda TNI Soedibyo Rahardjo dengan si Atase Pertahanan Amerika Serikat terjadi sebelum Desember 1974. (https://historia.id/politik/articles/cara-gratis-dapat-kapal-perang-vJdga dan https://www.indomiliter.com/kri-samadikun-destroyer-escort-as-dengan-meriam-eks-uni-soviet/)




  • Kakek Sophia Latjuba Di Pihak Ibu Anggota Pasukan SS Jerman


Tema yang remeh, tapi menarik untuk diangkat. Ya, kakek Sophia Latjuba dari pihak ibu adalah pasukan SS. Saya akan bahas dari dua sisi, yaitu perihal kakek si Sophia ini dan latar belakang satuan militer yang jadi tempat dinas kakeknya. Dari wajah, Sophia Latjuba memiliki paras wajah orang Indo. Lebih tepatnya dia berdarah Indonesia-Jerman. Dalam postingannya di akun instagramnya, diketahui nama si kakek adalah Stephan MĂĽller. Dari foto itu, terlihat jelas si kakek mengenakan seragam pasukan SS Jerman, sebuah satuan paramiliter di luar Wehrmacht yang merupakan angkatan bersenjata resmi Nazi Jerman. Lebih tepatnya, kakek Sophia Latjuba merupakan anggota dari 7th SS Freiwilingen Gebirgs Division Prinz Eugen jika dilihat dari badge yang terletak di kerah seragam si kakek dalam foto itu.

Satuan elit? Nggak. Satuan 7th SS Freiwilingen ini bukanlah satuan asli Jerman apalagi satuan elit. Menurut Jozo Tomasevic dalam bukunya “War and Revolution in Yugoslavia: 1941 – 1945”, satuan 7th SS Freiwilingen Gebirgs Division Prinz Eugen ditempatkan di Yugoslavia oleh Jerman selama perang di Balkan itu berkecamuk.

 Satuan 7th SS Freiwilingen Gebirgs Division Prinz Eugen terdiri dari sukarelawan untuk mengatasi gerilyawan Yugoslavia. Satuan ini dikenal bukan karena kemampuannya, melainkan karena kekejamannya selama penempatannya di Balkan. Satuan ini berisikan petualang-petualang tersadis membantai ratusan orang Bosnia selama pendudukan mereka di Yugoslavia. Mereka melakukan ini hanya untuk kenikmatan, uang dan emas. 

Mereka membunuh semua orang di wilayah musuhnya mulai dari bayi hingga lansia. Dalam kutipan dari buku yang ditulis oleh Christian Jennings, “Flashpoint Trieste: The First Battle of the Cold War”, saat 7th SS Freiwilingen melakukan operasi di daerah Niksic, Montenegro, 1943, tercatat satuan ini melakukan kejahatan di mana:

“Semua keluarga didorong ke sebuah rumah yang terbakar sehingga mereka semua terbakar. Ditemukan dalam berbagai investigasi bahwa 121 orang, yang kebanyakan terdiri dari wanita, termasuk 30 orang berumur 60-92 tahun, dan 29 anak-anak serta bayi dengan umur antara 6 bulan hingga 14 tahun, dieksekusi dalam peristiwa ini.”

Jika saja Sophia Latjuba tahu sejarah, maka seharusnya ia malu dan bukan bangga dengan memposting foto kakeknya yang pernah berdinas di satuan itu. 

(https://m.tribunnews.com/amp/seleb/2016/06/08/sophia-latjuba-unggah-foto-sang-kakek-berseragam-pasukan-elite-nazi; Jozo Tomasevic, 2002, “War and Revolution in Yugoslavia: 1941 – 1945”; dan Christian Jennings, 18 Mei 2017, “Flashpoint Trieste: The First Battle of the Cold War”)




  • Anak Filsuf Jerman, Hegel, Jadi Tentara KNIL Di Jawa


Pada 14 Oktober 1806, Napoleon menyerbu dan mengalahkan tentara Prusia di Jena, sebuah kota di Thuringen, Jerman. Perang menghancurkan kota. Kampus juga sepi. Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang kelak akan menjadi filsuf terkemuka di dunia filsafat, dan baru setahun menjabat profesor luar biasa di Universitas Jena, universitas terkemuka di Jerman, mengalami krisis keuangan. 

Dan di saat inilah dirinya yang masih bujangan menjalin asmara terlarang dengan Charlotte Johanna Christiane Burkhardt, istri pemilik flat tempat Hegel tinggal, yang ditinggal suaminya. Dari hubungan itu, lahirlah seorang anak yang diberi nama Ludwig pada 5 Februari 1807. Kelahiran Ludwig makin menambah beban Hegel. 

Hegel memutuskan pindah ke Bamberg, meninggalkan anak dan kekasihnya, yang konon akan ia nikahi setelah suaminya meninggal. Hegel mewalikan Ludwig ke Friederich Frommann, seorang penerbit terkenal di Jena sekaligus teman baiknya. Ludwig kemudian dibaptis dengan nama Georg Ludwig Friederich Fischer. Fischer diambil dari nama ayah Burkhardt (Johann Christian Fischer), sementara lainnya dari dua bapak baptisnya: 

Friederich Frommann dan Georg Ludwig Hegel, adik Hegel yang seorang letnan di Resimen Royal Crown Prince of Wurttemberg. Hegel diketahui menyesal sudah meninggalkan anak dan istrinya ditambah lagi ia tidak bisa memenuhi tanggungjawabnya sebagai ayah. Hegel begitu menyayangi Ludwig, anaknya. 

Hubungan ayah-anak ini begitu canggung, antara benci tapi rindu. Pada 1811, tanpa sebab Burkhardt memberikan Ludwig Fishcer kepada adik ipar Friederich Frommann, yang saat itu membangun panti asuhan. Kondisi hidup Burkhardt mungkin jadi alasannya. Di tahun yang sama, Hegel menikah dengan orang lain, Maria (Marie) Helena Susanna von Tucher. Di pernikahan ini Hegel dikaruniai 1 anak perempuan yang meninggal tak lama setelah lahir dan 2 anak laki-laki. Dalam sebuah surat kepada Frommann tanggal 20 Juli 1816, Hegel menulis bahwa ia dan istrinya bertekad membawa
Ludwig ke dalam hidup barunya.

Ludwig berharap mendapatkan kasih sayang dari keluarga barunya, namun ia tak bisa mendapatkannya. Maka ia memutuskan keluar dari rumah untuk belajar ilmu dagang di Stuttgard. Kebetulan istri Hegel punya kerabat di sana. Namun, Ludwig membuat masalah di sana dengan mencuri uang. 

Akhirnya Hegel menyerahkan Ludwig kepada seorang opsir di Tentara Kolonial Belanda. Ludwig tinggal di Amsterdam, Belanda, lalu setelah cukup lama ia memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai tentara yang akan dikirim ke Hindia Timur untuk jangka waktu enam tahun, yang masa dinasnya akan selesai pada 24 Juni 1831. Ludwig juga kekurangan uang untuk bekal perjalanannya. 

Pada 29 Agustus 1825, dari Ostende, Belgia, Ludwig berangkat dengan Kapal “Diana” yang dikomandoi Kapten Meulenbroek. Ia tiba di Batavia pada 26 Januari 1826 dan terdaftar pada pasukan Infantri ke-18. Kemungkinan besar, Ludwig ditugaskan dalam Perang Jawa (1825-1830) dimana Belanda melawan kekuatan Pangeran Diponegoro. Perang Jawa adalah perang terbesar yang pernah dialami oleh Belanda di tanah jajahannya, selain Perang Aceh yang juga tak kalah dahsyatnya.

 Ludwig berhasil melalui Perang Jawa, tapi tak bisa kembali ke negeri asalnya karena pada 28 Agustus 1831, Georg Ludwig Friederich Fischer, meninggal dunia di Batavia karena terserang demam inflamatori (demam karena peradangan). Jabatan Ludwig di tentara KNIL adalah juru mudi di Subdivisi 2 Infantri, berdasarkan catatan di Departemen Pencatatan Hindia Belanda, Daftar Kematian, Folio 44. Berita kematian Ludwig tak pernah sampai ke ayahnya, Hegel. (https://historia.id/militer/articles/anak-hegel-perang-di-tanah-jawa-vVGlP)



  • Rencana Permesta Menguasai Jakarta


Pada akhir dekade 1950’an hingga awal 1960’an, Indonesia pernah mengalami pergolakan sengit di berbagai daerah. Selain DI/TII di daerah Jawa Barat, juga ada pergolakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia Timur yang lebih mirip perang saudara. Dari segi militer PRRI tidak begitu lama ditumpas, tetapi Permesta harus diakui adalah lawan kuat dan menyulitkan bagi TNI atau APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di masa itu. Menyulitkan karena Permesta juga bersenjata lengkap dan bahkan memiliki angkatan udara sendiri, yaitu AUREV (Angkatan Udara Revolusioner). 

Belum lagi bantuan asing dari AS, Filipina, bahkan Taiwan yang berpikir bahwa Permesta juga bentuk pemberontakan untuk mendirikan negara baru. Bahkan disebutkan bahwa CIA sudah menyiapkan bantuan berupa 15 buah pesawat pembom B-26 Marauder, salah satu pembom medium yang andal buatan Amerika Serikat, untuk memperkuat AUREV. Bantuan ini diketahui dari biografi Menteri Perdagangan PRRI Soemitro Djojohadikusumo yang terbit tahun 2014 dalam negosiasinya di Singapura pada waktu itu. Tak heran jika Ventje Sumual, salah satu tokoh penting Permesta sangat percaya diri bisa merebut Jakarta sebagai pusat pemerintahan:

“Setelah menguasai Banjarmasin (Kalimantan Selatan), sebetulnya mudah saja untuk menguasai Jakarta,... Yang dibutuhkan adalah lapangan terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh.”

Selain itu, Ventje Sumual belakangan merasa tertipu dan kecewa dengan Amerika Serikat yang meninggalkan Permesta begitu saja, sembari masih yakin bahwa rencananya akan benar-benar berhasil jika Amerika Serikat masih tetap mendukungnya:

“Setelah terbukti bahwa Jakarta masih kuat dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani bukanlah komunis, mereka meninggalkan kami begitu saja,... Memang, kalau mereka (Amerika) tidak pergi, saya yakin kami akan berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami akan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan untuk menguasai seluruh Indonesia.”

Misi-misi pemboman AUREV mulai dilakukan. Pada 13 April (1958?) AUREV membom Landasan Udara Makassar. Kemudian tiga hari setelahnya, AUREV menyerang Balikpapan di mana pesawat PBY Catalina milik AURI dan Dakota milik perusahaan minyak Shell jadi korban. Dilanjutkan dengan aksi-aksi Allen Lawrence Pope, pilot yang diperbantukan AS untuk Permesta. Pada siang pukul 14.00 tanggal 29 April 1958. Dari kokpit pesawat B-26, Pope menyerang Pangkalan Udara Wolter Monginsidi dengan bom dan tembakan senapan mesin. Serangan kedua terjadi lebih dari seminggu kemudian, persisnya pada pukul 06.00, 7 Mei 1958. 

Atas nama Permesta, Pope menyerang Pangkalan Udara Pattimura di Ambon. Aksi ini berhasil merusak pesawat Dakota dan Mustang milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Serangan ketiga digencarkan keesokan harinya, 8 Mei 1958, pukul 17.00. Pope kembali beraksi dengan pesawat pembom tunggangannya B-26, membombardir dan menembaki detasemen AURI di Kendari hingga menyebabkan kebakaran. Seminggu kemudian, 15 Mei pukul 05.30, Pope kembali beraksi, kali ini di sekitar Ambon, dengan sasaran kapal motor. Sebanyak 17 personel TNI terbunuh. 

Enam lainnya luka-luka. Tiga hari kemudian, 18 Mei 1958, Pope dua kali beraksi. Pada pukul 06.00, dia membom sebuah pangkalan udara di Ambon. Setelah dua pesawat AURI rusak dan sebuah truk hancur, ia bergerak ke utara dan menyerang dua kapal pengangkut beserta lima kapal pelindungnya yang hendak menuju Morotai. Tapi akhirnya Pope nahas di Indonesia. Pesawatnya tertembak jatuh di Pulau Tiga. di hari yang sama. Pope berhasil ditangkap dan dihadapkan di persidangan pada 1959. 

Kejadian ini benar-benar membuat malu Amerika Serikat dan CIA, sehingga mereka perlahan-lahan menarik dan mengurangi bantuan-bantuan mereka kepada Permesta. Bantuan AS berupa 15 buah pembom B-26 juga tak jelas nasibnya. Maka dengan ini, gagal sudah rencana Permesta merebut Jakarta. 

(https://tirto.id/permesta-pemberontakan-atau-bukan-didQ, https://tirto.id/allen-pope-konco-permesta-yang-jadi-mainan-sukarno-cQhc, Laksamana Sudomo, 1997, “Mengatasi Gelombang Kehidupan”; Saskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana, 2018, “Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagined Evil”)



  • Moe’alimin, Pengajian Komunis


Di Surakarta awal abad 20, Islam dan Marxisme berpadu bersama-sama atas keprihatinan terhadap kolonialisme dan penindasan kepada rakyat banyak. Islam menentang praktek kapitalisme seperti Riba dan penimbunan kekayaan. Marxisme, menyediakan alat analisa ilmiah yang tajam untuk menelanjangi kapitalisme. 

Moe’alimin merupakan bentuk jamak dari Moe’alim yang secara harafiah berarti guru agama. Dari artinya saja sudah jelas menunjukkan bahwa Moe’alimin adalah gerakan dakwah. Kegiatan Moe’alimin yang dilakukan adalah menggelar pertemuan, membahas Al-Quran dan Hadis sekaligus menerjemahkannya dalam bahasa Jawa serta menfasirkan artinya sesuai keadaan Hindia Belanda saat itu dalam perspektif ‘Marxisme’. 

Identitas utama dari gerakan Moe’alimin terletak pada pandangan ideologisnya mendasarkan diri pada gerakan ‘Islam Revolusioner’ dan niat ‘memerangi fitnah’ serta sangat terpengaruh tulisan-tulisan Misbach termasuk ‘Islamisme dan Komunisme’. Dalam artikelnya, Islamisme dan Komunisme Haji Misbach menyebut:

“...kaum modal memeras kaum buruhnya tiada memandang bangsa dan agama dan tidak ambil pusing wet-wet agama yang musti dijalani orang-orang beragama. Kaum-kaum buruh di mana saja selain mereka sudah mengorbankan tenaganya, fikirannya, ….enz pun mengorbankan agamanya dirusak juga oleh kapitalisme.”

Moe’alimin tidak memiliki kantor, anggaran dasar organisasi, daftar dan kartu keanggotaan selayaknya organisasi formal. Sifat Moe’alimin lebih seperti pengajian, yang mana orang bisa datang dan pergi dalam setiap pengajian Moe’alimin. Maka dari itu, sulit memastikan berapa jumlah anggota dari Moe’alimin.

Awalnya Moe’alimin tidak mendapat represi yang keras dari aparat kolonial, karena sifatnya yang lebih mirip pengajian dibanding organisasi formal. Semakin lama, kegiatan Moe’alimin semakin mengundang pemerintah kolonial untuk menyelidikinya. Sepanjang Desember 1925 sampai Januari 1926 pertemuan-pertemuan itu diadakan hampir setiap malam. Khusus malam Jumat, pertemuan serentak diadakan di berbagai tempat. Perkembangan terbaru itu membuat bupati memperingatkan pemimpin Moe’alimin seperti Ahmad Dasoeki, Atmosoekato dan Rochani agar hanya membahas diskusi-diskusi tentang agama. Sang bupati juga mengancam akan mengirim polisi jika hal-hal komunis dibicarakan. Agen-agen polisi akhirnya benar-benar mendatangi setiap pertemuan Moe’alimin untuk mengetahui apa yang dibahas dan dibicarakan. Dan akhirnya untuk pertama kalinya polisi membubarkan kegiatan Moe’alimin pada 17 Januari 1926. 

Yang unik adalah, pengunjung pengajian itu membubarkan diri tanpa melakukan perlawanan kepada polisi sembari menyanyikan ‘Internasionale’, himne gerakan sayap kiri sedunia termasuk kelompok komunis. Namun bukannya mengendor, kegiatan Moe’alimin semakin rajin dan intens. Tentu saja aparat polisi semakin rajin lagi mendatangi pengajian Moe’alimin dan langsung menghentikan kegiatan ketika pembicara mulai menyebutkan kata ‘revolusioner’ atau ‘komunisme’.

 Karena hal ini. Moe’alimin tak kehabisan akal. Moe’alimin berhenti mengadakan pertemuan-pertemuan besar. Mereka menggantinya dengan pertemuan kecil yang dihadiri oleh 30-50 orang, tapi secara bersamaan diadakan di banyak tempat. Sebuah laporan polisi tentang salah satu pertemuan Moe’alimin pada tanggal 24 Januari 1926 menyebutkan Dasoeki berorasi,

“Seperti Haji Misbach yang dibuang itu baik sekali karena menetapi agama Islam. Sewaktu-waktu saudara jangan takut atau jangan khawatir kalau ada perang sabil. Reserse-reserse yang telinganya saban hari dikoroki, tetap saja tidak punya perasaan.”

Masih dari laporan polisi-polisi yang hadir, pidato Dasoeki itu segera disambung oleh Salamun yang menunjukkan kain mori putih dengan gambar cap palu arit.

“Saudara-saudara jangan bubar dulu. Inilah kita punya gambar. Betul apa tidak saudara-saudara?”

Karena polisi semakin kewalahan menghadapi Moe’alimin ini, Residen Surakarta pada tanggal 1 Februari akhirnya mengusulkan kepada pemerintah untuk menolak hak berkumpul bagi Mardi Boesono dan cabang tablignya, yaitu Moe’alimin. 

Residen juga memerintahkan tindakan lebih keras. Tindakan itu mulai memakan korban penangkapan para orator dan propagandis Moe’alimin. Intervensi polisi yang kasar itu langsung memicu protes dari berbagai kalangan, bahkan kelompok-kelompok non-Komunis lainnya di Surakarta.

 Ketika tanggal 18 Februari 1926 polisi menangkap tiga propagandis terkemuka Moe’alimin yakni Oesmoeni, Atmosoemarto, dan Rochani ditangkap atas tuduhan spreekdelicten, desas-desus segera menyebar di kota. Moe’alimin berencana menggelar demonstrasi untuk memprotes penangkapan itu. Keesokan harinya, bertepatan dengan hari Jumat 10.000 orang datang ke masjid kauman untuk sembahyang.

 Jumlah itu tiga kali lipat dibanding jumlah biasanya. Banyak dari mereka yang tidak bisa masuk ke masjid dan bersembahyang di pelataran yang dijaga sangat ketat oleh polisi. Selesai sembahyang Jumat, didahului oleh permpuan dan anak-anak puluhan ribu orang itu bergerak menuju penjara Surakarta dengan mengumandangkan zikir. Ketika polisi memerintahkan agar mereka membubarkan diri, perintah itu segera dicemooh dan diabaikan. 

Mendekati kantor asisten residen, polisi mulai bertindak. Pasukan berkuda dan mobil menyerbu barisan demonstran, menembakkan senapan ke udara dan mengayunkan pedang. Demonstrasi itu berhenti setelah 15 menit perkelahian kecil. Demonstrasi ini adalah yang pertama kali terjadi di Surakarta, sekaligus akhir dari Pengajian Moe’alimin. Penangkapan para orator dan propagandis Moe’alimin berlangsung terus hingga bulan Maret. (https://koransulindo.com/moealimin-pengajian-beraliran-kiri/)


  • Soeharto Hampir Jadi Supir Taksi

Pengalaman menjabat Panglima Diponegoro meninggalkan kenangan pahit bagi Soeharto. Waktu itu pangkat Soeharto masih kolonel. Dalam amatan Soeharto, kondisi kesejahteraan prajuritnya cukup melarat. Soeharto putar akal bagaimana caranya mendulang uang. Sebagaimana kelak diketahui umum, Soeharto menjalankan bisnis gelap. 

Dia melakukan penyelundupan hasil bumi setelah kongkalikong dengan pengusaha Tionghoa, Liem Sioe Liong. Kegiatan ini tergolong ilegal, karena tentara tak diperkenankan berdagang. Apes. Aksi Soeharto ketahuan Markas Besar TNI. 

Jenderal Nasution hampir saja ingin memecatnya karena dianggap bikin malu korps. Nama Soeharto pun lekat dengan citra buruk sebagai perwira dagang. 

Menurut Tien, kegiatan barter itu dilaksanakan setelah bermusyawarah dengan Gubernur Jawa Tengah dan pimpinan partai-partai politik. Namun tak ada rincian berapa angka-angka yang dihasilkan dari barter tersebut. Alokasi dan distribusi hasil barter itupun entah kemana.

 Akibat skandal itu, Soeharto dicopot dari jabatan panglima. Rasa kecewa dan minder menghinggapi diri Soeharto. Betapa frustrasinya Soeharto sampai-sampai dia berpikir untuk keluar dari dinas tentara lantas beralih profesi jadi sopir taksi. Tien-lah yang meneguhkan kembali mental Soeharto yang jatuh usai kasus penyelundupan.

Tien berkata kepada Soeharto yang lagi galau:

“Dulu saya tidak menikah dengan sopir taksi, tapi saya menikah dengan seorang prajurit, seorang tentara,...Segala sesuatu itu sebaiknya dihadapi dengan kepala dingin biarpun hati panas.”

Kata-kata penyemangat dari Tien itu mengurungkan niat Soeharto untuk angkat kaki dari dunia tentara. Kelak, dia akan menjadi presiden Indonesia kedua dengan jabatan terlama, sekaligus 5 besar pemimpin terkorup di dunia. (https://historia.id/politik/articles/ketegaran-tien-soeharto-dan-hartini-sukarno-PyRg2?fbclid=IwAR2sbx_ui4udWXiKmVMVzkED1_N2r9F8lNTfzHMbOQhpFLvgjiISup0bsUE)




  • Mantan Agen CIA Di Indonesia Direkrut KGB, Dikhianati Agen KGB Yang Direkrut CIA


Salah satu operasi rahasia CIA (Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat) yang paling sukses terhadap Uni Soviet dilakukan di Indonesia. Operasi bersandi HABRINK ini berhasil mendapatkan informasi dari pejabat militer Indonesia mengenai alutsista dan persenjataan Uni Soviet yang dijual kepada Indonesia, termasuk sistem rudal, kapal selam, kapal perusak, kapal penjelajah, dan pesawat pembom. 

Mantan agen CIA, David Henry Barnett, kemudian menjual informasi dari operasi ini ke KGB lantaran bisnisnya bangkrut dan BU (butuh uang). Dirinya pernah bertugas di Indonesia sejak 1967-1970. Selain jual informasi, dia juga mengungkap jejaring CIA yang ada di Indonesia dan kawasan Asia. 

Ia diganjar 92.000 dolar AS. Akhirnya, Barnett ditangkap FBI (Biro Investigasi Federal). Orang yang mengungkap bahwa Barnett telah menjual informasi kepada KGB adalah Letnan Kolonel Vladimir M. Piguzov. 

Agen senior KGB ini direkrut oleh CIA ketika bertugas di Jakarta. CIA memberinya kode GTJOGGER. Piguzov direkrut CIA di Indonesia pada 1974, namun CIA sudah tidak berkontak lagi dengan Piguzov sejak 1979 setelah kembali ke Moskow. Piguzov naik ke posisi Sekretaris Partai Komunis di School for Special Task yang kemudian berubah nama menjadi Yuri Andropov Red Banner Institute. Institut itu terletak di hutan sebelah barat laut Moskow (wilayah Mytishchinsky). 

Selama hampir sepuluh tahun, Piguzov memberikan informasi rahasia, termasuk informasi tentang identitas mereka yang dilatih di institut, kepada petugas CIA yang berbasis di Moskow. Akibatnya, terjadi penangkapan massal terhadap jaringan global agen KGB Soviet. 

Petugas KGB menangkap Piguzov ketika dia sedang menjalani pemeriksaan fisik di klinik KGB. Jenderal Vladimir Kryuchkov, orang kedua di KGB, mengungkapkan bahwa Piguzov ditangkap karena kerja kontraintelijen KGB. Piguzov dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 1986. Sementara Barnett dihukum 18 tahun penjara, tiga tahun setelah bebas bersyarat, dia meninggal dunia pada 19 November 1993. (https://historia.id/politik/articles/agen-kgb-di-indonesia-dieksekusi-mati-v5bzJ?fbclid=IwAR3p8CJx249Q5D39afmvnmSHTkq3J8fmJ95GaSPTRj2F1lUGuT24EGudtnU)




  • Diciduk Intel, Perwira TNI-AL Gagal Kasih Peta Laut Indonesia Ke Intel Tentara Soviet


Ini sebuah kisah spionase di tahun 1982. Seorang perwira TNI Angkatan Laut berpangkat Letnan Kolonel ditangkap Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Dia ditangkap setelah jaringan telepon di kediamannya disadap. 

Dalam percakapan melalui telepon, perwira bernama Letkol Yohanes Baptista Susdaryanto diketahui bakal memberikan sebuah dokumen rahasia mengenai pemetaan laut Indonesia kepada seorang agen intelijen Uni Soviet bernama Alexander Pavlovich Fineko yang menyamar sebagai perwakilan perusahaan penerbangan Aeroflot Indonesia di Jakarta. Aksi Fineko sebenarnya sudah terendus oleh BAKIN di bawah kepemimpinan Jenderal Benny Moerdani. Saat Susdaryanto hendak menyerahkan dua rol film berisi pemetaan laut Indonesia pada 4 Februari 1982, ia dibekuk BAKIN. 

Dua rol film itu dibungkus dengan bungkus kemasan pasta gigi Pepsodent. Kemudian BAKIN menggunakannya sebagai pancingan untuk menangkap Fineko. Namun Fineko ternyata seorang yang licin. Ia menyuruh orang kepercayaannya untuk menemui Susdaryanto, Letkol Sergei Egorov yang tak lain atase pertahanan Rusia di Indonesia. 

Egorov dibekuk tanpa perlawanan dan diserahkan ke kedubes Soviet untuk dipulangkan. Akibat penangkapan ini dan permintaan untuk penangkapan Fineko sempat memunculkan ketegangan antara pemerintah Uni Soviet dan Indonesia. Karena Fineko berstatus non-diplomat, maka ia bisa diadili di Indonesia dengan ancaman hukuman mati. Tapi Finenko berhasil lolos dan kembali ke Uni Soviet dengan misi yang gagal.

Aksi Fineko di Indonesia bukan kali ini saja. Pada 29 November 1980, Fineko yang kala itu berumur 36 tahun sedang memeriksakan diri di sebuah klinik di belakang Hotel Indonesia. 

Klinik itu sering dikunjungi personel militer TNI. Hari itu, salah satu pasien adalah Letkol Sukerman yang merupakan perwira di Kodam Brawijaya Jawa Timur. Ia melihat Fineko membagikan kartu nama untuk mencari guru bahasa yang bisa mengajarinya.

 Setelah Letkol Sukerman selesai memeriksakan diri selama 15 menit, ia didatangi Fineko. Fineko memberinya kartu nama dan Sukerman memberikan nomor teleponnya ke Fineko. Fineko kini mencoba menjerat Sukerman untuk makan malam di akhir pekan. Untuk mempererat hubungannya dengan Sukerman, Fineko beberapa kali menghubungi Sukerman. Salah satunya adalah pada telepon tanggal 27 Januari 1981. 

BAKIN yang sudah mengetahui ini mengidentifikasi Sukerman sebagai ‘penerima’. Setelah mengintai sang letkol selama berbulan-bulan, akhirnya Letkol Sukerman dipanggil untuk diinterogasi pada 8 Juni. Meskipun Sukerman tidak mendapat dakwaan apa-apa karena tidak ada hukum yang dilanggar, intelijen sudah mulai menaruh kecurigaan terhadap Fineko. Karena intelijen militer Uni Soviet menggunakan Aeroflot sebagai kedok atau penyamaran agen intelijennya di berbagai negara, maka bisa dipastikan Fineko adalah seorang perwira GRU, dinas intelijen militer Uni Soviet. (https://tirto.id/bZny dan Kenneth J. Conboy, 2004, “Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service”)


  • Operasi Onta: Membendung Komunisme Dari Yaman Selatan Ke Indonesia

Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta. 

Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di Bandara Internasional Kemayoran. 

Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing. Dari berbagai negara tersebut, hanya negara Yaman yang dicurigai oleh intelijen Indonesia. 

Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh. Diplomat Yaman kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. 

Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Orang Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Setelah berbagai penyadapan tersebut, kekhawatiran impor Komunisme dari Timur Tengah ke Indonesia hanyalah ketakutan berlebihan. (https://historia.id/militer/articles/operasi-onta-mencegah-masuknya-komunisme-dari-timur-tengah-DrBdw)