Kenapa “toleransi beragama” dinamakan toleransi beragama?
Jawabannya adalah karena sebutan ini berguna untuk menyembunyikan kemustahilan adanya perdamaian dan persaudaraan yang sempurna.
Kok bisa ?
Ketika kita memikirkan kata toleransi, apa yang muncul di benak kita? Apa bedanya dengan persahabatan/persaudaraan?
Ketika kita membicarakan toleransi, biasanya kita berpikir toleransi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan perilaku orang lain yang tidak kita setujui. Akan tetapi, apakah definisi ini cukup? Contohnya, ketika kita memiliki saudara dan dia mengganggu kita, kita tidak menyebut situasi rumah kita “toleransi anggota keluarga," bukan?
Oleh karena itu, ketidaksetujuan perilaku/kepercayaan/pendapat yang berada pada kata “toleransi” tidaklah sekadar ketidaksetujuan tertentu. Toleransi menunjukan adanya perbedaan fundamental dalam ketidaksetujuan yang ditoleransikan. Dalam kata lain, dalam toleransi beragama, ketidaksetujuan yang dimaksud adalah negasi antar satu sama lain. Apa maksudnya negasi antar satu sama lain? Pertama-tama, kita harus menyadari bagaimana agama dihidupi dalam kehidupan sehari-hari.
Agama bukanlah hanya sekadar konsepsi pengetahuan, dan bukan hanya “sekedar” kepercayaan saja.
Aku dapat percaya bahwa cerita temanku bukanlah kebohongan, dan aku dapat percaya bahwa bumi sudah ada sejak dahulu kala. Kepercayaan “Bumi sudah ada sejak dahulu kala” mungkin merupakan kalimat yang aneh. Orang macam apa yang mengatakan kalimat ini tanpa adanya konteks tertentu?
Akan tetapi, “aku percaya temanku tidak berbohong kemarin”, meskipun menyangkut “kepercayaan”, tidak memiliki aura aneh.
Kenapa? Alasannya adalah karena “Bumi sudah ada sejak dahulu kala” merupakan bagian dari framework dunia, sebuah kepastian yang menjadi dasar dari konsepsi bagaimana dunia bekerja, sedangkan pernyataan kedua bukanlah kepercayaan seperti ini. Agama juga memiliki status yang mirip dengan framework dunia, atau bahkan agama merupakan bagian dari framework dunia ini.
Agama menjadi dasar penentu proposisi mana yang dapat diterima, dan proposisi mana yang tak dapat diterima. Tentu saja, hal ini tidak untuk menyatakan bahwa setiap penganut agama sama. Beberapa orang ada yang membentuk framework yang ketat/longgar dalam menilai proposisi diluar agamanya.
Contohnya, ada orang2 yang lebih terbuka dengan perubahan.
Ada juga orang-orang yang lebih kaku dan ketat soal pandangannya terhadap dunia.
Akan tetapi, bagi penganut agama2 monoteis, seperti Islam, Yahudi, & Kristen (Katolik dan Protestan), hal ini tidak selalu memperbolehkan mereka hidup dengan harmonis dengan orang dengan agama lain Karena pemikiran ini, maka setiap agama berada dalam kondisi negasi antar satu sama lain, karena untuk satu agama benar, agama lain harus salah. Bahkan, keberadaan agama lain mengancam kebenaran agama yang dipegang. Sebab, keberadaan agama lain merupakan sebuah penistaan bagi agama yang dipegang, sebab keberadaan agama lain merupakan keberadaan dunia lain, dan keberadaan Tuhan lain. Itulah alasan mengapa sulit bagi beberapa orang beragama untuk hidup berdampingan dengan orang-orang dari agama lain, dan mengapa toleransi beragama dinamakan demikian.
Toleransi melibatkan sebuah kesalahan yang diabaikan.
"Agama lain merupakan sebuah kesalahan cara hidup yang diperbolehkan untuk ada."
"Agama lain merupakan ancaman bagi kebenaran agamaku karena agama lain menjadi sudut pandang yang berbeda, yang antagonis."
Selain itu, karena setiap orang beragama memiliki keyakinan bahwa sumber moral adalah yang berasal dari luar, alias moral bersifat objektif, ini memastikan dialog apapun diantara kedua agama dapat mulai pada posisi yang sulit. Sebab, kedua pihak beragama memulai dari kondisi “pihak agama lain merupakan penistaan, kesalahan dalam gaya hidup dan moral”, atau lebih parahnya lagi, “ancaman bagi kehidupan moralku” dan “ancaman bagi keharmonisan masyarakatku”.
Inilah mengapa ketika ada anggota keluarga kita yang pindah agama, biasanya orangtua kita sangat sedih. Sebab, pindah agama sama seperti “membuang hidup, melakukan penistaan, mengkhianati framework dunia yang telah ada”. Selain itu, karena posisi ini dianggap objektif, maka tidak ada ganggu gugat, sebab apa yang benar tertulis di Kitab Suci, bukan hasil negosiasi masing-masing. Jika ada yang tidak setuju dengan Kitab Suci ini, maka hal tersebut adalah penistaan. Untuk melakukan dialog yang efektif, kedua pihak beragama perlu melakukan abstraksi, alias mementingkan aspek kemanusiaan yang ada di hadapannya secara sebagian dan bukan keagamaannya. Sebab, tidak mungkin dialog tersebut dimulai dengan melihat pihak lain secara utuh dan konkret, sebab hal ini berujung pada perbedaan sudut pandang agama yang dapat menghasilkan konflik.
Akan tetapi, tidak semua orang dapat melakukan abstraksi ini, sebab, meskipun abstraksi ini memperbolehkan dialog untuk terjadi, hal ini berarti “memperbolehkan orang lain untuk merendahkan kepercayaanku”.
Dalam kata lain, abstraksi ini memperbolehkan pihak lain untuk secara diam2 menyatakan agamaku adalah agama yang salah, dan karena itu aku menekannya untuk melihat dirimu secara abstrak, bukan sebagai pekerja/umat beragama, tapi “manusia” dalam “kemanusiaan yang universal”. Dalam kata lain, posisi “natural” atau posisi paling mudah yang dapat dicapai ketika dua pihak beragama bertemu adalah dengan berkonflik.
Itulah sebabnya toleransi beragama dinamakan demikian, untuk menyembunyikan kemustahilan adanya perdamaian dan persaudaraan yang sempurna.
Sumber dan Referensi:
1. On certainty (Ludwig Wittgenstein)
2. Critique of Dialectical Reason (Jean-Paul Sartre)
3. A Companion to Wittgenstein (H.J Glock)
4. Routledge philosophy guidebook to Wittgenstein (A. Hamilton)
5. Thread akun twitter @logosid