Dunia Luar Itu Indah, Tapi Kejam


 "Dunia Luar Itu Indah, Tapi Kejam" - Itulah kalimat yang dulu saya yakini. Kalau bisa dikatakan nolep, iya saya nolep. Kerjaan saya dulu hanya nonton anime, baca manga ataupun main game di rumah. Akibatnya, jumlah teman yang saya punya tidak lebih dari jumlah jari di tangan.

Saya melakukannya bukan tanpa alasan. Dunia luar membuat saya takut. Berita-berita di tv lebih banyak mengulas tentang perundungan, penculikan, pencurian, pemerkosaan, dan masih banyak lagi hal lainnya yang membuat saya berpikir bahwa tidak ada sama sekali hal baik di dunia ini. Termasuk lingkungan sekitar saya.

"Senyum atuh, neng!"

Tidak jarang saya mendapati kata-kata tersebut terlontar dari mulut tetangga atau teman-teman saya. Saya tidak tahu kenapa untuk sekedar senyum sapa dengan tetangga saja gemetar ketakutan. Dicap sombong, tidak punya sopan santun, dan lain sebagainya. Tapi saya menyadari bahwa saya sendirilah yang mendefinisikan diri saya, bukan orang lain. Saya tidak perlu memikirkan apa kata mereka, toh mereka juga tidak memahami apa yang saya rasakan. Terkadang saya berpikir "apakah perempuan dilahirkan untuk selalu ramah dan tersenyum kepada orang lain?"

Perlahan-lahan pandangan saya terhadap dunia berubah sejak memasuki SLTA. Saya sekolah sekaligus mondok di luar kota tempat tinggal saya. Saya tidak tahu kenapa saat ditawari untuk melanjutkan sekolah di sana saya menjawab "ya". Saya hanya ingin tahu seperti apa rasanya hidup tanpa ada orangtua di samping kita, harus mencari makan sendiri, mencari obat sendiri ketika sakit dan menghadapi ketakutan saya terhadap dunia luar sendirian?

Selama di sana, saya belajar banyak hal tentang pertemanan, kebahagiaan, kesedihan, kasih sayang dan bahwa tidak selamanya saya bisa melakukan segala hal sendirian. Tidak jarang saya berpikir bahwa meskipun dunia ini kejam, tapi masih ada hal-hal baik yang senantiasa mengitari hidup saya. Teman, orangtua, guru, kesibukan, tugas sekolah yang menumpuk dan peraturan sekolah yang terkadang hal itulah yang membuat diri kita menjadi lebih baik.

Bagi saya, hal terbaik yang pernah saya miliki adalah bahwa saya memiliki trauma terhadap dunia luar karena perundungan/bullying saat kecil. Saya bersyukur, trauma itu membuat saya memahami dunia yang 'sebenarnya' lebih awal daripada teman-teman seangkatan saya. Seringkali saya drop saat kenangan-kenangan itu teringat kembali. Sehingga membuat saya tidak fokus dengan materi pelajaran dan seringkali tidur lebih dari jam 12 malam karena kenangan-kenangan itu terus mengganggu saya.

Tapi saya sangat bersyukur bahwa saya bisa belajar bagaimana seharusnya bergaul dengan teman-teman, bagaimana candaan yang tidak menyakiti hati orang lain, menyadari bahwa sekuat apapun kamu berusaha untuk melakukan hal yang baik akan selalu ada orang yang tidak menyukaimu, memahami bahwa orang yang tumbuh bersama dengan kenangan itu akan menjadi lebih kuat dan orang yang seperti itu bisa mendapatkan kebahagiaan. Tidak perlu menghindari ketakutan, saya hanya perlu menghadapi dan mengatasinya agar saya bisa menjadi lebih baik.

Sekarang sudah menginjak kelas 12. Itu artinya, negara api akan segera menyerang. Saya hanya berharap bisa memahami dunia yang absurd ini sedikit lebih banyak.

Sebenarnya, saya tidak tahu apakah kisah ini memiliki pesan moral atau tidak. Saya hanya ingin berbagi dan berharap teman-teman menyadari bahwa sekejam apapun kehidupan, akan selalu ada hal baik yang senantiasa mengitari hidup kita. Kita hanya perlu berusaha untuk mencarinya.