Jurnalisme Damai: Good News is Good News - Dalam dunia kewartawanan dikenal istilah jurnalisme damai. Jurnalisme jenis ini hadir dan dilatarbelakangi oleh maraknya praktik jurnalisme perang di dekade 1970-an. Penggagas jurnalisme jenis ini ialah seorang profesor dalam bidang kajian ilmu perdamaian sekaligus seorang sosiolog asal Norwegia yang bernama Johan Galtung. Ia miris melihat praktek penyampaian informasi yang dibingkai dengan propaganda, kekerasan, orientasi para elit, dan orientasi kemenangan belaka.
Jurnalisme Perang vs Jurnisme Damai
Galtung menganalogikan jurnalisme perang sebagai berita olahraga pada umumnya. Dalam berita olahraga, isi liputan hanya berfokus pada pihak siapa yang menang ataupun yang kalah. Pada akhirnya, berita olahraga hanya membawa pada perpecahan dan polarisasi. Dalam konteks jurnalisme perang, para jurnalis akan membawakan berita layaknya berita olahraga, negara/pihak mana yang menang atau kalah.
Sedangkan untuk jurnalisme damai, Galtung mengandaikannya sebagai berita kesehatan. Walaupun pewarta akan menyajikan berita tentang pengidap penyakit tertentu, mereka terlebih dahulu akan memberikan informasi terkait nama penyakit, gejala, faktor, dan gaya hidup pengidap sehingga menyebabkannya sakit, hingga gambaran tentang penyembuhan dan penanganan yang baik terhadap peyakit tersebut. Jurnalisme damai berorientasi pada perdamaian, kebenaran, manusia, dan solusi.
Media, Konflik, dan Berita
Salah satu penggerak dalam dunia jurnalisme adalah media itu sendiri. Media sebenarnya sangat membutuhkan konflik sebagai bahan bakarnya dalam memberikan berita kepada khalayak. Karena pada dasarnya, konflik memiliki "nilai berita" yang bisa membuat pandangan masyarakat terpecah menjadi pro atau kontra. Pasti kita sudah sering mendengar prinsip "bad news is good news", bukan? Prinsip ini percaya bahwa semakin buruk sebuah berita, semakin banyak pula orang yang akan membacanya.
Jhon Tierney, seorang jurnalis senior Amerika Serikat mengatakan dalam The New York Times bahwa, "Bad news sells." Jurnalisme perang lebih dipilih oleh media karena lebih menjual dibandingkan jurnalisme damai. "Semakin berdarah, semakin bernilai (sebagai berita)." Dikutip dalam Tirto.id. Pernyataan tersebut bukan tanpa landasan, menurut Tom Stafford, seorang pengajar di bidang psikologi dan ilmu kognitif, Universitas Sheffield, menyatakan bahwa berita buruk lebih menarik perhatian. Perhatian tersebut disebabkan oleh insting ketakutan manusia. Alasan lain masih banyaknya jurnalisme perang karena salah satu tujuan dari industri berita ialah sebagai kontrol sosial (society watch-dog).
Jurnalisme perang memang tak bisa dipungkiri untuk hilang. Media massa sebenarnya masih membutuhkan bad news. Akan tetapi, persentase antara good news dan bad news haruslah proporsional. Jangan sampai berita buruk lebih mendominasi dan selalu tampil di halaman pertama (koran) atau laman rekomendasi (online) media massa.
Pentingnya Jurnalisme Damai
Dalam jurnalisme damai, sangat menjungjung "win-win orientation". Seorang jurnalis haruslah menggali peristiwa secara menyeluruh dan mengakar, tidak menyudutkan atau membela salah satu pihak, serta membuka ruang dan kemungkinan lainnya.
Tujuan dari kata "damai" dalam istilah "jurnalisme damai" bukanlah menafikan terjadinya perang, konflik, atau pertentangan. Hal tersebut sudah jelas pasti ada di setiap interaksi sosial manusia. Masyarakat yang damai ialah masyarakat yang bisa menerima konflik tanpa melakukan kekerasan. Jurnalisme damai seharusnya memberitakan hal tersebut.