Kekerasan Sekolah Kedinasan, Ketika Tradisi Lebih Penting daripada Nyawa

 


Kekerasan Sekolah Kedinasan, Ketika Tradisi Lebih Penting daripada Nyawa - Beberapa waktu lalu, terjadi sebuah kabar yang cukup tidak mengenakkan datang dari Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang. Zidan Muhammad Faza, salah seorang taruna tingkat tiga telah tewas dianiaya oleh seniornya sendiri, Caesar Richardo Bintang Samudro Tampubolon.

Kabar ini menambahkan rentetan panjang kasus kematian taruna dari sekolah kedinasan, sebelumnya ada nama Brigadatar Muhammad Adam (taruna tingkat dua Akpol), Amirullah Adityas Putra (STIP Jakarta), Cliff Muntu (IPDN Sultra), dan masih banyak lagi lainnya.

Motif pelaku untuk menganiaya korban pun sama, dengan dalih sebuah tradisi yang mengakar sejak zaman baheula. Mereka menganggap bahwa tradisi lebih penting dari sebuah hembusan nafas, bukannya belajar untuk meraih prestasi yang gilang gemilang, malah meneruskan tradisi yang tidak bernilai.

Faktor Pendorong Terjadinya Kekerasa

Tentu, tindak kekerasan dalam sekolah kedinaan tidak terjadi begitu saja, terdapat beberapa faktor yang membuat hal tersebut terjadi. Saya disini mengutip faktor-faktor tersebut dari salah seorang dosen Departemen Sosiologi FISIP Unair Surabaya-- Prof. Dr. Bagong Suyanto Drs., M.Si--melalui jawapos.


1. Hubungan antara senior dan junior

Terdapat pihak yang merasa berkuasa dan pihak lain yang tidak berdaya akibat dari doktrin sebuah struktur sosial. Sebagai seorang junior yang baru dalam sekolah tersebut, tentu tidak mungkin mereka melawan seniornya--meskipun salah--karena sanksi akan menunggunya, entah dari pihak sekolah maupun dari senior yang sudah siap menghujaminya dengan tonjokan.

2. Dari dendam ke dendam lain

Junior pada tahun pertama akan selau mendapatkan kekerasan fisik dari sang senior, mereka dianiaya, dipuk*uli, ditendang dan tindakan-tindakan yang menimbulkan kematian lainnya. Namun, bukan tak mungkin, ketika sudah tahun kedua, mereka yang akan dinobatkan sebagai pelaku bullying. Dalih dari hal ini adalah dalam rangka balas dendam yang dilakukan oleh seniornya tempo lalu, begitupun seterusnya.


3. Ketidakseriusan Sekolah

Pada kasus Cliff Mutu yang terjadi pada tahun 2007 lalu, ternyata kasus tersebut berusaha ditutup-tutupi oleh pihak sekolah dengan cara menyuntikkan formalin ke dalam tubuh jenazah guna menutupi bekas penyiksaan.

Cliff kemudian dinyatakan meninggal akibat liver. Namun, masih ada berlian diantara tumpukan sampah, salah seorang staff pengajar IPDN yang bernama Inu Kencana Syafiie, dengan penuh keberanian membongkar kasus kekerasan kekerasan tersebut.

Belajar pada kasus tersebut, masih ada pihak sekolah kedinasaan yang berusaha menutupi tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak didiknya. Lembaga tidak serius dalam mengatasi masalah ini, bahkan mereka memang tidak mengusut kasus tersebut agar nama lembaganya masih harum di mata publik.



Solusi dari Permasalahan Sekolah Kedinasan

Semua ini tergantung pada kebijakan dan keseriusan sekolah dalam mengatasi kematian-kematian yang akan berlanjut hingga masa mendatang. Sekolah perlu memberikan aturan yang ketat terkait dengan tindak kekerasan, dan membuat protektif yang lebih ekstra terhadap taruna baru, seperti pemasangan CCTV dan pemantauan secara berkala dari pengajar.

Sosialisasi tentu merupakan salah satu hal yang mungkin dapat efektif, meskipun tidak sepenuhnya. Lebih ekstrem lagi dengan membuat 'sekat' antara senior dan junior, senior dilarang untuk bersosialisasi dengan para juniornya. Jika sudah putus asa, bisa saja penghentian perekrutan taruna baru selama 1-2 tahun, agar tradisi kekerasan tidak nampak lagi.