Perseteruan Khalifah: Abdullah Bin Zubair Versus Muawiyah II

 


Perseteruan Khalifah: Abdullah Bin Zubair Versus Muawiyah II - NADIRSYAH HOSEN

Dalam tulisan saya sebelumnya [Kebengisan Khalifah Yazid Menghadapi Oposisi] telah diceritakan bagaimana Khalifah Yazid bin Mu’awiyah mengerahkan pasukannya untuk menyerang kota suci Mekkah yang dikuasai Abdullah bin Zubair. Malangnya, Khalifah Yazid meninggal sebelum berhasil menguasai Mekkah.

Setelah Yazid wafat, anaknya yaitu Mu’awiyah bin Yazid bin Mu’awiyah dibai’at menjadi khalifah. Akan tetapi Abdullah bin Zubair juga mendeklarasikan diri sebagai khalifah di Mekkah. Bagaimana bisa terjadi saling klaim khalifah ini? Siapa khalifah yang sebenarnya? Mari simak kisah berikut ini.

Muawiyah bin Yazid berusia sekitar 17 tahun ketika ayahnya, Yazid bin Muawiyah, wafat dalam usia 36 tahun. Jelas dari sisi kecakapan dan pengalaman, Muawiyah II (untuk membedakan dengan Muawiyah sang kakek) masih bau kencur. Sama sekali tidak layak menjadi khalifah. Tapi semenjak sang kakek mengubah khilafah menjadi kerajaan dengan menunjuk putranya, Yazid, maka yang menggantikan Yazid adalah putranya yang kebetulan juga bernama Muawiyah.

Muawiyah II berkuasa hanya sebentar. Anak muda ini hanya keluar saat menerima bai’at lantas masuk ke kediamannya, tidak pernah keluar lagi sampai wafat dua puluh hari atau dua bulan kemudian. Imam Suyuthi mengatakan bahwa Khalifah Muawiyah II bahkan tidak pernah sempat mengimami salat di masjid.

Imam Thabari mengatakan mengenai sebab kematiannya ada laporan bahwa Muawiyah II diracun. Ada juga yang berkata dia ditikam dari belakang, yang lain mengabarkan bahwa memang sejak awal beliau ini sakit-sakitan. Belakangan Syekh Ibn Arabi mengatakan Muawiyah II ini seorang Wali Quthb pada masanya. Wa Allahu A’lam.

Sementara itu, wafatnya Yazid membuat Abdullah bin Zubair di Mekkah menerima bai’at dari penduduk Hijaz (Mekkah dan Madinah). Maka, sejarah Islam mencatat ada dua khalifah saat itu. Penduduk Damaskus dan Mesir membai’at Muawiyah II, sedangkan penduduk Hijaz, Yaman, Irak, dan Khurasan membai’at Abdullah bin Zubair. Bagaimana menyelesaikannya?

Beredarlah kemudian riwayat Hadits: “Apabila dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang paling terakhir dibai’at di antara keduanya.” Meski riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih Muslim, sanadnya menurut sebagian ulama bermasalah. Dua rawinya, Jurairy dan Khalid, mendapat sorotan para ahli hadits. Nama pertama disebut mengalami ikhtilat (kerancuan) dalam periode akhir hidupnya. Nama yang kedua diragukan apakah ia mendengar hadits ini pada kondisi Jurairy itu tsiqah atau ikhtilat.

Para ulama juga berbeda pendapat dalam mengimplementasi hadits–yang aroma politisasinya kencang ini–bahwa ada yang berkata larangan ini bersifat mutlak seperti Imam Nawawi. Sedangkan ulama semisal Imam Juwaini al-Haramain menganggap larangan ini tidak berlaku jika daerah kedua khilafah itu berjauhan (atau menurut ulama lain, terpisah lautan).

Yang menarik, Ibn Katsir dalam kitab Tafsir-nya mengatakan pendapat Imam al-Haramain (yang merupakan guru dari Imam al-Ghazali) di atas lebih sesuai dengan kondisi kekhilafahan dalam sejarah Islam, ketika ada lebih dari satu khalifah, yaitu Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir, serta Khalifah Umawiyah di daerah Magrib. Dan memang kalau kita lihat catatan sejarah, klaim bahwa hanya ada satu khalifah untuk seluruh dunia Islam menjadi berantakan.

Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:

Ummayyah (661-750)

Abbasiyah (750-1258)

Umayyah II (780-1031)

Buyids (945-1055)

Fatimiyah (909-1171)

Saljuk (1055-1194)

Ayyubid (1169-1260)

Mamluks (1250-1517)

Ottoman (1280-1922)

Safavid (1501-1722)

Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa awal Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua umat Islam. Sejak tahun 909 (saat Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan umat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas Al-Azhar, Kairo, dibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh umat, toh tetap dianggap sukses juga.

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Irak (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260).

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu: ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?

Kembali ke konflik Abdullah bin Zubair dan Umayyah. Imam Suyuthi, misalnya, dengan tegas mengakui kekhalifahan Abdullah bin Zubair. Sah! Beliau tidak menganggap sah Khalifah Marwan, pengganti Khalifah Muawiyah II, di Syam, karena masih ada Khalifah Abdullah bin Zubair di Mekkah.

Hadits yang hanya sendirian diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas (tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari) juga layak dibahas dari sudut: mengapa bisa terjadi dua khalifah dan mengapa penyelesaiannya dengan dibunuh (dalam redaksi lain “dipenggal kepalanya”).

Pertama, proses pemilihan atau lebih tepatnya metode memilih seorang khalifah menjadi sumber kontroversi sejak awal. Masing-masing daerah dan masing-masing tokoh saat itu seakan merasa berhak membai’at tokoh yang mereka inginkan. Maka, isyarat dalam hadits di atas menginginkan terjadi perlombaan siapa lebih dulu yang diba’iat karena yang belakangan dianggap kalah cepat dan akibatnya bisa dianggap tidak sah.

Misalnya, kalau militan ISIS telah membai’at khalifah, lantas Hizbut Tahrir katakanlah memba’iat orang yang berbeda, maka yang diba’iat belakangan tidak sah–meski boleh jadi sosoknya lebih mampu dan lebih mendapat dukungan. Kacau, kan?

Sah atau tidaknya ini diqiyaskan (analogi) dengan masalah wali dan pernikahan, seperti yang bisa kita baca dari keterangan Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah. Pernikahan yang dilangsungkan oleh wali yang pertama yang dianggao sah; yang belakangan dianggap tidak sah. Tentu jadi lucu kalau soal penentuan khilafah dianalogikan dengan masalah pernikahan. Ini persoalan publik, bukan persoalan pribadi.

Untungnya, persoalan ini di masa modern telah diselesaikan dengan sistem pemilihan umum dalam negara demokrasi. Artinya, tidak usah cepat-cepatan memba’iat, semua kandidat bisa bertarung dalam kompetisi yang sehat dan rakyat dipersilakan memilih calonnya, pada waktu yang telah disepakati. Indah, bukan?!

Kedua, kalau terjadi dua khalifah, maka penyelesaian menurut hadits yang dianggap dhaif di atas menjadi berbau kekerasan. Akan terjadi perang saudara seperti yang terjadi dalam sejarah Islam. Pihak yang diba’iat belakangan tentu tidak mau dibunuh begitu saja, dan akan melawan balik menyerang khalifah yang diba’iat duluan. Akhirnya yang menang ditentukan oleh pedang, bukan oleh kecakapan dan pilihan rakyat.

Untungnya, sekali lagi, di masa modern permasalahan ini diselesaikan lewat gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Jadi, siapa yang sah dan siapa yang terpilih dengan prosedur yang curang bisa diselesaikan secara beradab lewat proses hukum, bukan lewat kekuatan senjata.

Walhasil, kita memang harus kritis memahami hadits-hadits yang muncul belakangan karena peristiwa politik, dan bagaimana aplikasinya menurut para ulama dan fakta sejarah.

Khalifah Abdullah bin Zubair berkuasa sekitar 9 tahun, sedangkan Khalifah Muawiyah II berkuasa sangat pendek tidak lebih dari dua bulan. Setelah Muawiyah II wafat, masa depan keturunan Abu Sufyan untuk meneruskan tampuk kekuasaan menjadi suram. Dilaporkan bahwa Muawiyah II tidak mau menunjuk orang lain sebagai penggantinya, dan kabarnya dia juga tidak punya anak (kalaupun ada tentu usianya masih kecil). Maka muncul Marwan bin Hakam sebagai khalifah penyelamat Dinasti Umayyah sekaligus melawan kekuasaan Abdullah bin Zubair di Mekkah.

Kita akan teruskan ngaji sejarah politik Islam pada kolom Jumat depan yang, bi idznillah, akan membahas sosok Marwan bin Hakam dan nasib Abdullah bin Zubair selanjutnya. Yang penting sekarang kita mengerti bahwa, dalam sejarah, Islam ternyata juga melahirkan banyak khalifah, mirip seperti keadaan saat ini ketika masing-masing negara sudah memiliki pemimpinnya masing-masing.

Upaya sebagian pihak untuk memgembalikan sistem khilafah di mana hanya ada satu pemimpin saja jelas bersifat ahistoris.