Media Sosial & Jebakan Thinking Fallacy



MEDIA SOSIAL DAN JEBAKAN THINKING FALLACY


Salah satu hal yang paling membekas di benak saya dalam Ujian Terbuka Disertasi bulan lalu, Para Penguji tidak lagi banyak berkutat pada hasil-hasil temuan penelitian seperti pada Ujian Tertutup sebelumnya, melainkan lebih fokus menggali novelty dari gagasan-gagasan kita sebagai kontribusi pemikiran yang bermanfaat untuk kelembagaan khususnya dan bangsa ini umumnya. Dan hal yang menarik adalah saat Ketua Dewan Penguji mempertanyakan soal silogisme hipotesis yang merupakan logika dasar berpikir yang memang banyak sekali menjebak banyak orang. Saat itu saya berpikir, bukankah hal itu merupakan hal yang out of context dari materi yang harusnya diujikan dalam sebuah Ujian Disertasi, namun semakin saya pikirkan semakin sadar saya bahwa hal paling kritis sebelum berpikir (tentang apa saja!) adalah memang memiliki cara berpikir yang benar. Itu saja dulu asal kita bisa!

Dan berpikir benar itu ternyata memang bukan perkara ecek-ecek, Gaes. Kalo berpikir dengan benar yang masih dalam kerjaan otak saja berat, apalagi level “Memaparkan apa yang dipikirkan dengan benar?”, bukankah harusnya lebih berat lagi?
Tapi kenapa tampaknya ngebacot apa saja menjadi passion kita di dunia maya?🙊 Mengapa di medsos, siapa saja bisa jadi expert dalam segala bidang/intelektual mumpuni/ulama besar yang menguasai semua perkara di langit dan di bumi? Bukankah harusnya itu bukan perkara gampang? Sudah on the track-kah cara berpikir kita? Jangan-jangan kita seringkali abai dengan adanya kecacatan berpikir (thinking fallacy) di timeline kita?

“Udahlah gaya amat mau ganti presiden pake kampanye di FB segala, percuma aja Gaes.. Kalo lo pegawai rendahan siapa saja presidennya juga tiap pagi elo paling mentok makannya nasi uduk!”.

“Cebong sih, sesama komunis yang islamophobia dan kerjaannya cuma apriori sama muslim! Kamu orang Islam bukan sih?”

“Dimata Kampret sih, semuanya salah Jokowi!"

“Ah, kamu menilai negara ini makin maju kan karena kamu pendukung fanatik Jokowi!”.

Meski sekilas tampak biasa, ini sebenarnya merupakan bentuk thinking fallacy yang paling populer, yaitu argumentum ad-hominem (biasa disebut ad hominem saja), jenis kecacatan berpikir dimana si pelaku alih-alih mempertimbangkan esensi/argumentasi orang lain malah menyerang personal/hal negatif dari orang tersebut. Sering juga disebut dalam ungkapan "Shoot the messenger, not the message".

“Sudahlah, masyarakat ga usah munafiklah. Vanessa Angel ga merugikan siapa-siapa. Sabar ya Neng, ini mah ujian hidup”.

“Saya malah ingin tau gimana cara VA membrand dirinya sampai punya nilai jual sampai 80 juta. Dibanding istri-istri yang dikasih 10 juta sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, babysitter, siapa sebenarnya yang lebih murahan? Makanya kalau tidak mau dihakimi jangan menghakimi”.

Dalam argumentum ad hominem seperti dicontohkan diatas, si pelaku berargumentasi dengan menyertai menyerang orang lain [bahwa yang menghujat VA itu orang munafik, kata A, danlebih “murahan”, kata B] dan bukan berfokus pada menyerang argumen [tentang prostitusi online] itu sendiri, dan biasanya ditujukan agar orang-orang yang berargumentasi kehilangan kredibilitas dengan serangan personal tersebut. Ini merupakan bagian dari sesat logika. Dalam Lomba Debat mana saja misalnya, peserta yang menyampaikan argumen semacam ini akan didiskualifikasi, karena melanggar aturan dalam menyampaikan pendapat, terlepas dari kemudiansi B mengklarifikasi bahwa ini adalah satire dan bukannya dia bermaksud menghujat yang dianggapnya menghujat si terhujat (Bingung, bingung deh situ😬). Tetap saja hal semacam initidak benar dipakai dalam berargumentasi. Dalam ngebacotpun ada aturan yang tidak bisa diganggu gugat: argue the arguments, not the persons you argue with.

Jenis cacat berpikir yang paling umum lainnya adalah apa yang disebut dengan Retrospective Determinism Fallacy, yaitu cara berpikir yang menempatkan masalah-masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang historis memang akan selalu ada dan tidak bisa dihindari oleh manusia. Misalnya dengan pendapat yang umum sekali terdengar.

“Prostitusi sudah ada sejak jaman dahulu kala, sama tuanya dengan peradaban manusia. Sepanjang sejarahpun akan selalu ada dan mana mungkin dapat dibasmi. Karenanya yang perlu dilakukan bukanlah melarang prostitusi, melainkan mengaturnya/melokalisasinya agar lebih tertib”.

“Prostitusi itu ada karena ada demand (pasar). Ada permintaan, ada penawaran. Sudah hukumnya seperti itu, lantas apa perlunya pelaku prostitusi sampai dituntut”.

“Korupsi itu sudah ada sejak jaman nenek moyang. Itu sudah jadi sifat bawaan manusia karena power tends to corrupt seperti yang disebutkan sejarawan Inggris Lord Acton. Jadi korupsi itu biasa dan sudah jadi sistem, asal jangan ketahuan aja”.

“Orang miskin makin banyak di negara kita? Orang miskin dari jaman Nabi Adam juga ada. Gamungkin sedunia ini bisa kaya semua, Bro.”

Kelihatannya benar.
Kelihatannya masuk akal.

Namun bila ditelusuri baik-baik, statemen-statemen sejenis demikian mengandung banyak sekali kecacatan berpikir. Memiliki mindset bahwa masalah sosial tidak akan pernah terpecahkan dan karenanya hanya bisa dimobilisasi, dilokalisasi atau dimaklumi sebagaimana adanya,membuat kita hanya akan berkutat pada pemecahan-pemecahan superficial yang tidak pernah mau tau akar persoalannya apa, boro-boro bisa melakukan hal yang benar untuk memecahkan persoalan tersebut.

Di era medsos seperti sekarang, ada banyak sekali jebakan thinking fallacy. Yang paling umumya jenis yang pertama tadi.Kita seperti terbiasa melihat kekurangan personal orang lain, dan menjadikan itu hal yang lazim untuk dibahas. Para “Kampret” bilang Jokowi itu kurus ceking dan dengan penampilan ndeso dan sok sederhana, dan para “Cebong” bilang Prabowo nggak bakal mampu mimpin negara karena mimpin keluarga aja bubar. Netizen gemarmenyerang personal, bukannya mempersoalkan hal-hal yang lebih esensial seperti mengkritisi kebijakan, rekam jejak dan potensi masing-masing Capres. Padahal ada banyak hal yang perlu dikritisi dan diunggulkan dari masing-masing Capres tanpa harus menjatuhkan personal Capres lainnya. Saya suka membaca analisis-analisis pendukung kedua paslon Capres, yang dituliskan dengan kecerdasan dan kejernihan logika. Buat saya, berargumen dengan elegan merupakan hal yang menarik, terlepas dari penulisnya pendukung Paslon 1 atau 2.

The bottom line is, again, argue the arguments, not the persons you deal with👌.

Mungkin kitapun kadang terjebak dalam kekeliruan berpikir tanpa kita sadari. Saat kita yang emak-emak baik hati menawan mempesona nusa bangsa ini melihat anak kita terjatuh dan menangis meraung-raung seperti abis digigit trenggiling lalu kita berkata,“Ini siapa yang nakal? Lantainya Bunda pukul ya? Nih! Udah Bunda tabok lantainya, udah jangan nangis lagi ya Anak Kesayangan Bunda Dunia Akhirat!”, dimana bentuk menimpakan kesalahan pada hal lain yang tidak ada hubungannya dengan masalahpun menunjukkan perilaku thinking fallacy.

Dengan thinking habit seperti ini, kita tidak akan bisa berpikir lebih advanced dari itu yaitu mencari akar dari permasalahan yang ada, boro-boro akan sampai pada keterampilan berpikir yang lebih tinggi (higher-order thinking skill) dimana menurut Anderson & Krathwol kita perlu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkonstruksi sebuah gagasan yang baru, sementara kemampuan keterampilan bepikir tingkat rendah (lower-order thinking skill) kita untuk level memahami argumentasi dan kejadian saja kita kedodoran.

Hati-hati, thinking fallacy di sosial media saat ini sudah menjadi ranjau darat yang beracun.

Menusuk diam-diam secara halus karena dikemas dengan sangat elegan, hingga tanpa sadar kita telah terkontaminasi dengan cacat berpikir yang sama. Amitabachan. Eh amit-amit pisan, semoga kita terhindar dari ranjau-ranjau sedemikian😎✌.