8 Fakta Sejarah Etnis Tionghoa yang Ada di Indonesia!


Beberapa Fakta Sejarah Orang Tionghoa di Indonesia:

1. John Lie Tjeng Tjoan adalah Pahlawan Nasional pertama yang merupakan seorang Tionghoa dikukuhkan pada 10 November 2009.

2. Orang Tionghoa pertama yang datang ke Indonesia umumnya diyakini oleh dalil yang menjelaskan kedatangan seorang biksu bernama Faxian yang melakukan perjalanan darat dari Tiongkok ke India pada 400 M. Dalam perjalanan pulang lewat laut, dia mengunjungi Jawa pada 414 M. Namun catatan perjalanannya berjudul Catatan Negara-Negara Buddhis tak terlalu banyak mengulas soal Jawa.

3. Pada bulan November 1945, aksi pencurian dan perampokan mulai merambah rumah-rumah orang Tionghoa di Medan. Sehingga untuk menghadapi ini dibentuklah sebuah milisi beranggotakan pemuda-pemuda Tionghoa di Medan pada permulaan tahun 1946. “Baoan Dui”, demikian orang-orang Tionghoa lebih suka menyebutnya sementara masyarakat lokal di Medan mengucapkannya “Poh An Tui”. Mereka yang tergabung semula adalah pemuda-pemuda jago bela diri. Makin lama, kian banyak orang Tionghoa yang masuk PAT.

4. Usai peristiwa Geger Pacinan, penangkapan dan penindasan dilakukan Belanda terhadap warga Tionghoa. Pembantaian yang dimulai pada 9 Oktober 1740 telah memakan korban jiwa lebih dari 10.000 jiwa. Mula-mula 500 orang Tionghoa yang ditahan dibantai. Kemudian di rumah sakit, dan setelah itu meluas ke seantero kota.

5. Nama Tan Po Gwan mungkin terasa asing di telinga masyarkat Indonesia saat ini. Namun semasa tahun 1940-an sampai 1950-an, ia cukup aktif dalam berbagai organisasi sampai akhirnya dipercaya menduduki jabatan Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III periode 1946-1947. Tan Po Gwan tercatat sebagai etnis Tionghoa pertama yang masuk jajaran eksekutif di dalam pemerintahan Indonesia.

6. Tempat yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda adalah rumah seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong yang disewakan kepada para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting, seperti Amir Sjarifuddin (perdana menteri), Muhammad Yamin (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan), dan Mr. Assat (pejabat presiden Republik Indonesia). Para pemuda berkumpul untuk mengadakan Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.

7. Pada 5 Februari 1999, Eddie Lembong dan rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama mendirikan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI). Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras.

8. Pada masa penjajahan, pemerintah melarang adanya perayaan Imlek. Kemudian pada masa pedudukan Jepang, berdasarkan keputusan Osamu Seiri No. 26 tanggal 1 Agustus 1942 hari raya Imlek menjadi hari libur resmi. Pada masa pemerintahan Sukarno, Imlek tetap dirayakan. Kala itu, Sukarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” di mana pada Pasal 4 menyebut Hari Raya Tiong Hwa meliputi Tahun Baru, Wafat N. Kong Hu Cu, Tsing Bing dan Hari Lahir N. Khong Hu Cu. Sejak 2000, Imlek kembali dapat dirayakan secara terbuka oleh masayarakat Tionghoa di Indonesia. Keran bagi ekspresi kebudayaan masyarakat Tionghoa kembali dibuka oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur setelah mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967.