PERANAN PASUKAN BERKUDA TURKI DALAM PERANG SALIB



PERANAN PASUKAN BERKUDA TURKI DALAM PERANG SALIB  - Perlu diingat bahwa Asia Tengah (titik awal invasi Turki ke dunia Islam) yang menjadi sumber bagi kuda-kuda yang 'sempurna' dan 'sangat kuat' sangat dihormati di China, dari abad Kedua SM dan seterusnya. Seperti dikatakan oleh al-Jahiz (w. 255 H/868-869 M) jauh sebelum kedatangan bangsa Frank, bangsa Turki telah terbiasa berperang di atas punggung kuda. Tetapi, invasi bangsa nomaden itu pada abad kesebelas yang telah menghantarkan pemanah-pemanah bangsa Turki meraih ketenaran dan keberhasilan mereka yang mengagumkan itu, seperti yang dikatakan oleh Boudot-Lamotte, disebabkan oleh 'kesatuan panah dan kuda'. Mobilitas mereka yang luar biasa sangat berbeda dengan ksatria-ksatria Eropa Barat yang berbaju baja dan bersenjata berat.

Bangsa Turki terkenal dengan cara mereka menembak yang disebut 'gaya Skitia', atau disebut juga 'gaya Partia', yang berasal dari zaman kuno. Mereka datang menyerang dengan sangat cepat ke arah musuh dan secara tiba-tiba berbalik dan mundur sambil menembak. Menurut al-Tharsusi, orang-orang Turki "seluruhnya menarik anak panah hingga tangannya mencapai dada mereka". Taktik seperti ini ideal untuk membingungkan kavaleri kaum Frank. Hal terakhir yang siap dilakukan orang-orang Turki adalah 'berdiri dan bertempur'. Yang penting untuk dicatat adalah pasukan berkuda Turki seperti ini sangat penting di dalam pasukan Nuruddin, Saladin, dan penerus-penerus mereka.

Reputasi kaum Turki nomaden dan pasukan Turki lainnya sebagai pemanah berkuda telah menjadi legenda. Selama berabad-abad, bangsa Turki dalam lingkungan mereka yang nomaden telah belajar kecepatan dan mobilitas dengan menunggang kuda. Ini telah menjadi karakteristik perang bangsa Turki, bahkan sebelum sanggurdi ditemukan.

Pasukan Turki punya kemampuan besar untuk menghancurkan musuh mereka dengan cara mengelompok, (bubar), mengelompok kembali dan kembali berkali-kali dalam pertempuran. Berbeda dengan susunan musuh mereka yang cenderung lebih formal, seperti pasukan penguasa muslim yang mapan, pasukan Turki tidak diatur menjadi tiga divisi utama, sisi kiri, kanan dan tengah. Sebaliknya, mereka tersusun dalam kelompok-kelompok kecil yang berusaha mengepung musuh. Meskipun kelompok-kelompok ini terpisah, mereka bisa saling memperkuat bila diperlukan dan melancarkan tekanan tiada henti kepada musuh.

Sesuai dengan gaya hidup mereka yang telah berlangsung lama, pasukan Turki berperang untuk barang rampasan, dan ini sering dikritik oleh para penulis abad pertengahan yang memiliki latar belakang kehidupan menetap:

"Pasukan Turki tidak berperang untuk agama, intepretasi Kitab Injil, kedaulatan, pajak, patriotisme ataupun kemarahan ... bukan juga untuk mempertahankan negara maupun kekayaan, tetapi hanya demi barang rampasan."

Al-Tharsusi memberikan sedikit pandangan tentang taktik pemanah-pemanah berkuda muslim abad pertengahan di dalam pasukan Muslim. Bila posisi musuh sangat jauh namun dalam jarak tembak anak panah, al-Tharsusi menganjurkan para pemanah untuk menyebar dan menembak mereka secara terpisah. Dia memerintahkan pemanah berkumpul bila musuh datang mendekat. Bila musuh telah turun dari kudanya, al-Tharsusi memerintahkan untuk segera menempatkan diri mereka sedemikian rupa sehingga musuh berada di antara air dan tanah rawa. Bila ini tidak memungkinkan, dia menyimpulkan:

"Percepatlah dirimu dari mereka, dengan menembak hewan tunggangan mereka, dan tembak lagi dan lagi, karena akan membuat mereka kalah".

Pada Pertempuran Balath pada 513 H/1119 M., efek hujan anak panah yang dilancarkan oleh orang-orang Turki digambarkan dengan jelas oleh penulis sejarah Aleppo, yaitu Ibn al-Adim. Dengan mengingat bahwa bangsa Turki menyerang secara bersamaan dari segala arah, dia mengatakan:

"anak-anak panah tersebut mirip serangga karena sangat banyaknya anak-anak panah yang mengenai kuda dan prajurit..."

Dalam penjelasannya tentang pertempuran Balath, Ibn al-Qalansi juga menegaskan peran penting para pemanah untuk mencapai kemenangan ini:

"Mereka (para saksi mata) melihat beberapa kuda tersebut tergeletak di tanah seperti landak karena sangat banyaknya anak panah yang menembus tubuh kuda-kuda tersebut."

Faktor utama kekuatan militer Turki terletak pada kuda-kuda mereka. Selama berabad-abad, mereka sangat terkenal dalam kekhalifahan dan pasukan muslim lainnya, karena kemampuan mereka memanah sambil berada di atas punggung kuda. Namun peranan kuda-kuda mereka itu cenderung tidak jelas. Ikatan antara penunggang dan kudanya pasti sangat kuat, namun kita tidak mengetahui, misalnya, bagaimana bangsa Turki nomaden merawat kuda-kuda mereka atau bagaimana mereka mengerahkannya dalam penyerangan dan pertempuran. Kuda-kuda yang lamban dan gemuk digunakan untuk mengangkut senjata dan perbekalan. Saat tiba di dekat medan tempur, kuda-kuda ini akan diserang dan kuda-kuda yang lebih ringan dan cepat akan digunakan untuk pertempuran di medan yang sesungguhnya.

Sumber:

Dikutip (dengan sedikit perubahan) dari 'Perang Salib: Sudut Pandang Islam', oleh Carole Hillenbrand, seorang Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab dari University of Edinburgh (terjemahan dari 'The Crusade: Islamic Perspective', terbitan 1999 oleh Edinburg University Press) hal. 619-623. Diterjemahkan pada 2007 dalam cetakan ketiga, terbitan PT. Serambi Ilmu Semesta.