VIRUS CORONA DONGKRAK EMAS SEBAGAI SAFE HAVEN ASSETS, LALU BAGAIMANA DENGAN CADANGAN DEVISA INDONESIA? - Eskalasi perang dagang AS-Tiongkok berhasil membuat volatilitas nilai tukar dollar Amerika Serikat menjadi semakin tidak jelas. Ditengah perang dagang yang berkepanjangan, muncul penyebaran Covid-19 yang semakin mendorong investor ke safe-haven assets seperti emas, Yen Jepang, dan Franc Swiss. Yen dan Franc dianggap sebagai salah satu safe-haven assets karena Jepang dan Swiss memiliki surplus neraca transaksi berjalan yang besar, stabilitas pemerintahan, dan tingkat inflasi yang stabil, sehingga memberikan jaminan stabilitas bagi mata uangnya. Dollar AS melayang mendekati level tertinggi sehingga membuat emas lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang lainnya. Investor cenderung alergi terhadap ketidakpastian pasar keuangan global dan mendorong pergeseran penempatan dana ke aset yang dianggap aman yaitu emas dan melepas dolar AS. Meskipun volatilitas dollar AS cukup tinggi, nyatanya US Treasury Bond masih menjadi pilihan Bank Indonesia (BI) untuk menempatkan sebagian besar alokasi asetnya karena dipandang masih aman.
BI melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada Februari 2020 sebesar US$ 130,444 miliar. Angka tersebut menurun dibandingkan dengan posisi pada Januari 2020 sebesar US$ 131,703 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global, penurunan cadangan devisa pada Februari 2020 terutama didorong oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan imbal dari hasil Treasury Bond yang negatif dan pelonggaran kebijakan moneter di seluruh dunia.
Dalam pengelolaan aset cadangan devisa, BI melakukan diversifikasi jenis simpanan, salah satunya ialah emas. Indonesia pada Februari 2020 memiliki aset emas senilai US$ 4,149 miliar (3,18% dari total Cadangan Devisa). Jauh sekali jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat sebagai negara maju dengan mata uangnya sendiri ialah dollar AS, memiliki 8.133,5 Ton emas (74,9% dari total Cadangan Devisa Desember 2017). Tidak sepadan atau tidak apple to apple rasanya jika kita membandingkan cadangan devisa emas Indonesia dengan AS. Kita coba bandingkan dengan salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Thailand. Thailand sendiri pada Desember 2018 memiliki aset emas sebesar US$ 205,64 miliar, angka tersebut masih berbeda jauh dengan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Cadangan Devisa Indonesia yang sebagian besar asetnya masih dalam bentuk dollar berupa Treasury Bond (TB)? Treasury Bond adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah, seperti departemen keuangan atau bank sentral suatu negara. Bank Indonesia sudah lama memegang Treasury Bond dengan 3 alasan, yaitu security, liquidity, dan profitability. Security artinya betul-betul dikeluarkan oleh sebuah pemerintahan yang kredibilitasnya baik, liquidity artinya mudah untuk dijual kembali, dan profitability artinya dengan yield yang terus menurun dapat menjual bond dengan harga tinggi.
Dalam jangka pendek, aset valuta asing berupa dollar dalam Treasury Bond memang lebih mudah untuk dicairkan atau lebih likuid jika dibanding dengan emas. Namun, menurut saya gold is real money, emas tidak bisa diciptakan atau dicetak terus-menerus, dan nilai emas cenderung stabil, serta emas merupakan alat hedging yang baik. Walaupun emas tidak selikuid Treasury Bond, tapi dalam jangka panjang tentu sangat baik bagi keseimbangan posisi ekonomi suatu negara karena emas bisa sebagai store of value dan tidak dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga atau kebijakan moneter dari bank sentral, serta kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berbanding terbalik dengan portofolio berupa Treasury Bond yang erat kaitannya dengam kebijakan tersebut. Amerika Serikat saja yang saat ini memegang ekonomi global mencetak dollarnya sendiri setiap tahun, tapi tetap menggenjot aset emasnya. Negara maju seperti Amerika Serikat saja mau menjadikan emas sebagai cadangan devisa utamanya, mengapa demikian? Karena mereka tahu bahwa kedepannya nilai uang kertas akan semakin menurun.
Kemudian terlintas pertanyaan, “Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam, salah satunya ialah emas. Jika nyatanya negara dengan logam mulianya banyak dieksploitasi oleh perusahaan luar negeri seperti Tambang Terbuka Grasberg milik PT Freeport Indonesia yang notabene merupakan tambang emas terbesar di dunia dan menyimpan ribuan ton emas. Lantas, mengapa BI tidak membeli emas dari dalam negeri saja?”. Seperti kita ketahui, bank sentral di banyak negara telah memiliki kebijakan untuk memberi emas dari dalam negeri, salah satunya ialah Filipina. Namun tidak dengan Indonesia. BI tidak menambah cadangan devisa dengan produksi dalam negeri karena mempertimbangkan beberapa hal diantaranya adalah legal peraturan karena banyak pertambangan yang perijinannya belum beres, prosedur, dan dampak moneter dengan bertambahnya jumlah uang yang beredar, serta emas juga dinilai tidak selikud jenis cadangan devisa yang lain sepeti penjelasan sebelumnya. Alasan tersebut membuat saya berkaca sekali lagi, “Perijinan dan prosedur merupakan alasan yang cenderung mudah di atasi, apakah memang begini Indonesia yang terkenal akan birokrasinya yang seringkali membuat jengkel?”
Pada hari ini Senin, 30 Maret 2020, harga emas batangan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) terus mengalami kenaikan. Berdasarkan informasi Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia Antam, harga emas Antam dibanderol sebesar Rp926.000/gram. Kenaikan nilai emas sendiri bagi para investor bukan dianggap sebagai keuntungan, melainkan untuk menjaga aset mereka dari ketidakpastian kondisi ekonomi dalam jangka waktu yang tidak tentu. Saat ini, banyak investor menyimpan lebih banyak emas yang membuatnya harganya melonjak. Kenaikan harga emas memang mampu meningkatkan aset cadangan devisa, tapi tidak terlalu berarti jika tidak dibarengi dengan peningkatan dari sisi volume, yaitu hanya dari segi harga emas yang naik. Artinya, hanya terjadi perpindahan aset saja, yang tadinya memegang Treasury Bond beralih memegang emas karena harga emas naik. Lalu ketika kondisi ekonomi membaik, investor melepas emas dan memegang Treasury Bond kembali, maka artinya cadangan devisa tidak mengalami peningkatan, hanya peningkatan semu.