SEKILAS TENTANG SYAIKH SITI JENAR - Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara. Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.
Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan. Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih simpang-siur.
Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran budi pekerti.
Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat itu. Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404 M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir kitab suci.
Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, 2013:1474). Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995:49).
Sekira permulaan abad 20, Panji Notoroto atau Sosrowijoyo, membuat tulisan berjudul Siti Jenar. Ia, catat Hasanu Simon, adalah bekas penewu atau kepala distrik di Ngijon, Yogyakarta. Diceritakan, selepas menjadi penewu, ia berguru ke beberapa orang saleh, mulai dari Pacitan hingga Betawi. Setelah pengembaraan, ia kembali ke Yogyakarta, dan menulis beberapa buku, selain Siti Jenar, seperti Serat Bajanullah dan Kancil Kridamartana. Karya Sosrowijoyo ini kemudian semakin terkenal sejak perguruan kebatinan yang ia dirikan, Nataratan, mendapat banyak murid. Murid-muridnya antara lain Ki Padmosusastro, lalu ada ahli sastra Jawa yang bernama Ki Wignyohardjo dan pemimpin redaksi Ari Warti Djawi Kanda yaitu Martodarsono.
KEMATIAN SYAIKH SITI JENAR
Tanggal 5 bulan Ramadhan, hari jumat, tahun Wawu, berlangsung sebuah sarasehan di Giri Kedhaton, kediaman Sunan Giri I. Delapan orang wali utama -minus sunan Kudus yang absen tanpa kabar- datang dalam sarasehan yang membahas mulai dari masalah makrifat hingga etika hidup itu.
Kedelapan wali itu antara lain seperti Sunan Mbonang, Sunan Gunungjati, Pangeran Mojoagung, Sunan Kalijaga, Syekh Bentong, Maulana Maghribi, Syekh Lemah Abang, dan Pangeran Giri Gajah,
Sarasehan yang semula tenang, berubah gaduh.
“Aku inilah Tuhan. Mana yang lain. Ya tidak ada yang lain selain aku ini,” ujar Syekh Lemah Abang.
“He..apakah yang Anda maksud jasmani Anda ini?,” tanya Maulana Maghribi.
“Jangan ikuti pikiran itu. Nanti kamu dihukum mati,” terang Sunan Gunungjati.
Syekh Lemah Abang pun angkat kaki meninggalkan majelis itu sembari berkata,”Nah, mana lagi yang lain, jangan kira ada duanya!”.
Cuplikan sarasehan tersebut tersua dalam kropak Ferrara, sebuah naskah dari abad 16, yang kemudian diterjemahkan oleh G.W.J Drewes menjadi An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes lalu dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia oleh Wahyudi dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah.
“Siti Jenar adalah nama yang disematkan oleh Walisongo ketika drama eksekusi,” ujar Ki Herman Sinung Janutama, penulis buku Pisowanan Alit, kepada Historia.
Beberapa wali langsung meminta Syekh Siti Jenar untuk bertobat karena telah menyamakan diri dengan Tuhan. Namun Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya dan bahkan ia tegas menjawab, “Biar jauh tapi benar, sementara yang dekat belum tentu benar.”
Atas ucapan itu Prabu Satmata (Sunan Giri) hendak menghukum Syeh Siti Jenar agar ajaran yang dinilai sesat itu tak tersebar. Apalagi saat itu syiar Islam tengah berkembang di tengah masyarakat, sehingga para wali khawatir nantinya umat malah akan menjadi sesat.
Setelah pertemuan tersebut, para wali mengadakan pertemuan kedua. Agenda pertemuan yang kali ini yakni membahas untuk memberi hukuman kepada Syeh Siti Jenar. Dalam kesempatan itu Syeh Siti Jenar malah semakin berani, saat ditanya Syekh Maulana Magribi dengan lantang ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada."
Karena itulah akhirnya Syeh Siti Jenar dihukum mati. Tentang bagaimana Syekh Siti Jenar dieksekusi juga tidak diketahui secara pasti karena ada banyak versi yang mengiringi kepergiannya.
MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti bermakna di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan. Hal ini sesuai dengan ayat Al Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia.
Dalam salah satu pengertiannya, wahdatul wujud dapat dimaknai sebagai menyatunya manusia dengan Allah. Dia-lah Allah dan kita dan semua ciptaannya adalah bayangan-Nya. Paham yang paling dekat dengan Manunggaling Kawulo Gusti adalah Wahdatul Syuhud. Menurut paham ini, manusia dan seluruh semesta adalah bagian dari dzat Allah.
Said Nursi secara tersamar menuliskan konsep Wahdatul Wujud dan Wahdatul Suhud dalam bukunya "Sinar yang Mengungkap Sang Cahaya (Epitomes of Light). Dalam buku yang mengulas dalam Surat Al Ikhlas itu, pemikir asal Turki ini menggambarkan ciptaan Allah sebagai bayangan pada aliran sungai. Bayangan bisa hilang dan berubah bentuk, tetapi Allah tidak. Dan, dzat Allah itu ada pada setiap ciptaannya.
Konsep Manunggaling Kawulo Gusti tentang penyatuan manusia dengan Allah sebenarnya juga ditemukan dalam "The Lost Symbol" karya Dan Brown. Pada bagian-bagian akhir dari novel yang diterbitkan pada 2009 ini, Catherine Solomon berkata pada Robert Langdon.
"Kerajaan Tuhan ada pada diri kita," kata Catherine. Kurang lebih seperti itu. Kemudian Catherine menegaskannya, "Langdon, kita adalah Tuhan."
Kalau disimak, dalam "The Lost Symbol" ditemukan juga ajaran Syekh Siti Jenar tentang kematian. Brown dan Syekh Siti Jenar sama-sama menggambarkan kematian sebagai awal dari kehidupan abadi karena tubuh adalah penjara atau cangkang dari jiwa. Dan, setelah kematian, kita akan benar-benar menyatu dengan Tuhan.
Seperti dalam sloka Bhagawat Ghita, raga ini seperti kereta kuda ditumpangi oleh jiwa yang abadi. Jiwa adalah percikan Dewa, jiwa adalah bagian dari Dewa begitu tegas Kresna. Pada saat itu juga Sri Kresna menunjukkan ke-Mahadewa-an pada dirinya.