BAHAYA SELF DIAGNOSE PADA GANGGUAN MENTAL

 


BAHAYA SELF DIAGNOSE PADA GANGGUAN MENTAL - Ada beberapa teman yang tiba-tiba bilang, “aku depresi”; “aku phobia”, dan kalimat lain yang memberikan label gangguan tertentu pada diri sendiri. Uniknya, saat saya tanyakan lagi, ‘apakah sudah memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog?’ umumnya mereka menjawab belum. Mereka memberikan label gangguan tertentu tanpa ada dasar dari profesional (psikolog atau psikiater).

Pemberian label atau mengaku-ngaku sedang mengalami gangguan tertentu disebut dengan self-diagnose. Alasan self-diagnose diri beragam, mulai dari membaca ciri-ciri gangguan tertentu di internet kemudian mencocokan dengan (sebagian) peristiwa di hidupnya, mengisi kuisioner yang tidak jelas sumbernya, hingga membandingkan dirinya dengan salah satu public figure yang memiliki gangguan mental tertentu.

Masyarakat mulai sadar tentang kesehatan mental itu penting dan gangguan mental seperti depresi, cemas, dan gangguan lain nyata adanya. Namun di sisi lain saya merasa sedih karena self-diagnose dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Diagnosis gangguan mental hanya boleh diberikan oleh profesional dalam hal ini psikolog dan psikiater melalui asesmen yang lengkap. 

Tentunya tidak semudah hanya dengan mengisi kuisioner melainkan juga pengamatan dan wawancara mendalam dengan waktu tertentu.

Berikut ini beberapa alasan kita tidak boleh melakukan self-diagnose :

Ada kemungkinan label yang diberikan tidak benar

Terkadang kita mengatakan, “aku depresi” padahal yang dirasakan adalah kesedihan. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat membedakan kesedihan dengan depresi? Bagaimana kita tahu bahwa kita depresi? Bisa jadi kecurigaan tentang diri kita tidak benar. Kita tidak mampu melihat diri kita secara objektif. Di sisi lain kita tidak memiliki kompetensi atau kemampuan untuk mendiagnosis secara objektif.

Kita cenderung tidak dapat objektif melihat diri sendiri

Kita cenderung tidak objektif saat melihat diri kita sendiri maka dari itu perlu adanya orang ketiga (dalam hal ini psikolog atau psikiater) yang berwenang memberikan gambaran tentang gangguan yang kita alami. Kita cenderung melebih-lebihkan sesuatu atau mengecil-ngecilkan sesuatu. Misalnya, kita melebih-lebihkan sesuatu, kita mengatakan, “aku depresi” padahal yang dirasakan adalah kesedihan karena baru saja putus dengan pacar. It’s okay to be sad saat ada alasan yang jelas dan itu bukan depresi. Kita cenderung mengecil-ngecilkan sesuatu, misalnya, kita mengatakan, “nggak kok, aku nggak papa” padahal sudah satu minggu lebih tidak melakukan apapun, nafsu makan berkurang, dan merasakan kesedihan mendalam yang mengganggu aktivitas.

Kalimat kita bisa sangat menyakiti

Saat kita melakukan self-diagnose, depresi misalnya, kita berbicara pada orang yang benar-benar mengalami depresi, “aku juga depresi lalu aku bersyukur, depresiku sembuh”. Padahal hal yang dialami belum tentu depresi. Saat kita mengatakan kalimat tersebut pada orang yang benar-benar depresi, hal ini akan sangat menyakitkan. Bayangkan, bagaimana kita bisa mengaku-ngaku depresi padahal orang yang benar-benar depresi bahkan tidak menginginkannya.


Kita dapat terlewat dari gangguan medis yang sebenarnya

Misalnya ada seseorang yang datang dengan keluhan depresi dan benar dia depresi tetapi tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Setelah melakukan berbagai pengobatan diri sendiri tanpa pendampingan profesional, depresinya memburuk. Setelah diperiksa ternyata depresinya adalah akibat dari tumor otak yang menekan bagian otak tertentu yang mengakibatkan depresi. Jadi depresi yang dialami adalah dampak dari penyakit lain, yaitu tumor otak. Saat datang ke profesional kondisinya sudah memburuk dan tidak tertolong. Hal ini bisa saja terjadi apabila kita melakukan self-diagnose.

Saat merasa ada yang ‘tidak beres’ dengan diri kita, it’s okay, pergi ke profesional, jangan self-diagnose.