Kita Tidak Bisa Lepas Dari Stigma Buruk Orang Lain, Lantas Bagaimana Cara Menyikapinya?

 


Kita Tidak Bisa Lepas Dari Stigma Buruk Orang Lain, Lantas Bagaimana Cara Menyikapinya? - "Lihat tuh penampilannya, udah kayak pelac*r!"

"Buset, Bro, enteng sekali mulutmu memaknai seseorang seakan tahu semua tentang dirinya hanya karena apa yang dia pakai."

"Ya terus mau ngapain lagi kalau nggak ngel*nte? Pakaian kayak gitu jelas menunjukan apa yang dia jual kepada setiap pasang mata yang melihat."

"Memang, apa yang dia jual?"

"Ya jelas tubuhnya, lah! Yang diperlihatkan secara luas, kan, itu?"

"Pernah main ke Bank dan tanya ke Mbak teller yang sexy itu apakah dia open BO? Ke klinik beauty care juga, pernah nggak?"


Nggak usah kaget dengan kebiasaan label-melabeli orang lain, karena sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa menemui pandangan yang serupa tentang kehidupan.

Namun, sebenarnya bisa kah kita berdampingan dalam menghargai pemaknaan kehidupan orang lain? 

Saya rasa kita semua belum siap mewujudkan hal tersebut, bagaimana tidak? Dari dulu kehidupan kita nggak jauh dari yang namanya stigma orang lain. 

Masyarakat kita udah terbiasa menjadi Tuhan untuk hidup orang lain. 

Tuhan telah mati? Sebenarnya tidak, dan tidak akan. 

Hanya saja standar manusia bak wahyu yang harus disetujui seisi semesta

Saya ambil contoh pada beberapa permasalahan yang dihadapi kaum wanita, ini hanya opini dan pengalaman pribadi. 

Entah karena lingkungan saya yang kurang sehat atau memang hal seperti ini semakin lumrah terjadi. 

Tapi, saya tak jarang bertemu dengan orang-orang yang suka melabeli siapapun dengan mudahnya, seperti :

"Dia murahan"

"Jangan mau sama l*nte kayak dia"

"Sering gonta-ganti pacar, kayaknya dia perempuan nggak beres"

"Bahaya, tuh, aku lihat dia sering dibawa beberapa cowok"

"Hati-hati, dia mainnya sama banyak cowok"

Kalimat-kalimat di atas sering sekali muncul pada obrolan tongkrongan remaja. 

Tapi, ketika di tanya bukti yang cukup rasional agar bisa dianggap suatu kepercayaan mutlak, mereka selalu memiliki alasan lemah. 

"Emang kamu tahu dia lonte dari mana, Bro? Pernah nidurin dia?"

"Ya, nggak pernah, sih, cuma dia sering dibawa banyak cowok."

Terkadang obrolan semacam itu lumrah terjadi, memang itu hanyalah sebatas gosip burung, tapi pernah kah kalian berpikir bahwa mereka seolah memperkosa wanita namun tidak secara fisik, tapi secara imajinasi. 

Bayangkan? Kerumunan lelaki itu membicarakan tubuhmu dari ujung rambut sampai ujung kaki, padahal itu hal itu belum pasti kebenarannya. 

Hal ini juga tidak terjadi pada kaum cewek saja, tapi pada banyak orang. 

Seperti standar masyarakat yang sering kita lihat selama iniini :

Orang nggak pernah cerai menjadi tolak ukur kebahagiaan rumah tangga. 

Orang menikah adalah puncak kenikmatan s3ksual

Orang punya banyak duit itu adalah tolak ukur pencapaian pendidikan dan pengalaman. 

Orang punya momongan itu pencapaian biologis tertinggi. 

Nah, yang jadi pertanyaan. 

Apa kabar dengan orang yang dari lahir sudah cacat dan nggak bisa kerja seperti orang normal? orang cerai karena diselingkuhin? mandul? anak buangan karena hubungan gelap? Kan, nggak semua orang memiliki takdir yang demikian. 

Siapa yang menginginkan takdir seperti itu? Dan siapa juga yang tahu jika dia akan dikasih takdir seperti itu? 

Ironisnya, standar kebanyakan orang itulah yang membuat tersiksa orang yang lahir dengan takdir berbeda dari kebanyakan orang. 

Oiya, ada sedikit ungkapan lucu mengenai standar dari kaum cowok untuk menutupi kekurangannya secara fisik, 

"Nggak apa-apa jelek, yang penting titinya gede."

Adolf hitler tititnya mini, tapi dia jadi pemimpin, terus apa kabar kamu yang lebih mengandalkan seberapa gede titit daripada seberapa besar intelektualitas? 



Lantas, bagimana cara bersikap pada hal-hal yang demikian? 

Mungkin filosofi Optimistic Nihilism bisa sedikit membantumu agar berdamai dengan riuh semesta yang tidak pernah adil ini. 

Aku menganggap kehidupan dan segala riuh semesta ini adalah sesuatu yang nihil, kecuali Tuhan. 

Sesekali berpikirlah, sebenarnya kita senang sekali berharap pada hal-hal yang ada. Tapi, pada kenyataannya puncak dari kehidupan di semesta ini adalah ketiadaan (maka dari itu dalam agama mana pun kita direkomendasikan meraih kehidupan lain setelah kematian) 

Bayangkan, sekarang kamu berada di ruang keluarga, memandang foto keluarga di sudut dinding. Kau lihat foto orang tua serta adik-adikmu seakan memaksamu untuk mengingat bagaimana kamu sering mamaknai kebahagiaan dengan cara paling sederhana bersama mereka. makan mie instan bersama dalam satu wadah misalnya. 

Tawa kalian riuh menembus langit-langit kamar.

Kebahagiaan yang begitu sempurna seolah kalian dapat hidup selamanya. 

Padahal, kelak pada akhirnya kalian akan kehilangan satu sama lain. Entah mereka yang menangis di samping kuburanmu atau justru kamu yang akan menangis di samping kuburan mereka. 

Pada dasarnya, sekuat apapun rasa yang terikat, akhirnya kalian juga akan saling melepas satu sama lain, kan? 

Maka dari itu, seharusnya kalian selalu menganggap bahwa kebahagiaan tertinggi adalah bagaimana kalian bisa menikmati apa yang kalian miliki saat ini. 

Kenapa harus mengikuti arus semesta dan segala kebiadaban masyarakatnya yang justru memperburuk keadaan kalian?

Semakin berharap, maka semuanya akan semakin nihil.