Mengapa Para Idol dari Negeri Ginseng Banyak yang Bunuh Diri?



Mengapa Para Idol dari Negeri Ginseng Banyak yang Bunuh Diri? - Berwarna sekaligus melankolik. Itulah dunia K-Pop. Di balik glamornya budaya pop yang mendunia itu, tersimpan banyak sisi gelap. Yang terungkap, maupun yang tidak.

Lewat lagu I’ve Loved Just One Person karya Kyuhyun, anggota boyband Super Junior, penikmat budaya Korea Selatan digiring pada perasaan nelangsa karena cinta. Sedangkan sebaliknya, girlband Girls Generation atau SNSD membawa penikmatnya ke arah berbeda. Melalui lagu berjudul “Holiday,” mereka seakan mengajak para pendengar melupakan segala resah. Katanya, “Volumeeul nop-yeobwa” alias “keraskan volume (musik).” Rasakan irama, ritme, dan buang segala gundah.

Dalam Memories of the Alhambra, serial Korea Selatan yang tayang di Netflix, penonton disuguhi drama yang menampilkan hampir segala keperkasaan K-Pop; drama berisi kisah cinta, kehebatan teknologi, dan keindahan lokasi syuting. Serial yang dibintangi Hyun Bin dan Park Shin-hye itu benar-benar berhasil menyeret penontonnya untuk masuk. Dan serial itu pun dihadiahi rating tinggi dan sejumlah penghargaan.

Sayangnya, dunia K-Pop yang berwarna itu punya sisi gelap. Pada Maret 2019, Vox melaporkan skandal seks yang melibatkan sejumlah penyanyi pria K-Pop. Bermodal ketenaran, mereka melakukan aksi pelecehan seksual, baik pada penyanyi perempuan maupun pada para penggemar. Yang lebih tragis, aksi bejat itu mereka sebar-luaskan via grup pesan instan yang beranggotakan para idola K-Pop pria, seperti Seungri, Jung Joon-young, hingga Choi Jong-hoon.

Lubang hitam K-Pop mengenal kisah lain yang tak kalah tragis: para bintang yang bunuh diri.

Minggu, 24 November 2019 - Dunia K-Pop berduka setelah Goo Hara ditemukan tewas. Sebelum Hara ditemukan tak bernyawa, ia sempat mengunggah foto melalui akun Instagram pribadinya dengan keterangan “selamat malam". Setelah dilakukan investigasi, diputuskan bahwa kemungkinan Hara meninggal bunuh diri. Salah satu indikasi kuatnya adalah surat bunuh diri Hara.

Hara, yang baru berusia 28 tahun saat itu, diduga melakukan percobaan bunuh diri setelah menggugat mantan kekasihnya ke pengadilan. Choi Jong Bum, si mantan pacar, menyebarkan konten seksual sebagai balas dendam (revenge porn). Kejadian ini berakhir dengan ramainya pergunjingan publik Korea di media sosial.

Dalam salah satu unggahan di media sosialnya, Hara menyatakan bahwa “dirinya memang terlihat baik-baik saja dari luar. Namun, jiwa di dalam tubuh terasa hancur berkeping-keping.”

Lebih dari sebulan sebelum Hara ditemukan tewas, sahabat sekaligus rekannya di dunia K-Pop, Sulli, ditemukan tewas di kediamannya di Sujeong-gu, Seoul, diduga kuat karena bunuh diri. Sebagaimana dilaporkan CNN, anggota grup (fx) yang baru berusia 25 tahun itu pernah mengutarakan keresahannya  setelah memperoleh komentar-komentar negatif di dunia maya.

Idola K-Pop lain memilih mengakhiri hidup, misalnya Kim Jong-hyun, anggota boyband SHINee, yang baru berusia 27 tahun. Dalam pesan kematian yang ditinggalkannya, Jong-hyun menyebut bahwa “jiwa dalam dirinya telah hancur.”

Dari penelusuran, lebih dari 18 idola K-Pop meninggal bunuh diri sejak 2008 (baik sudah dikonfirmasi maupun diduga keras), umumnya didorong oleh masalah psikologis.

Lantas mengapa, kaum muda, tenar, dan harta melimpah ala bintang K-Pop banyak yang memutuskan mengakhiri hidup?



Idola: dari Manusia ke Produk


Melalui misionaris Katolik Henry Appenzeller yang berlayar ke Semenanjung Korea di abad ke-19, Korea mengenal jenis musik baru: musik-musik lokal Amerika dan Inggris. Musik itu diterima dan lambat laun membaur dengan kebudayaan lokal. Selepas Perang Dunia II usai, Korea digempur jenis musik lainnya: pop Amerika.

Musik-musik itu semakin lama semakin membaur dengan masyarakat Korsel dan sudah menjadi santapan mereka sehari-hari. Studi Maari Hinsberg dan Claudia Valge bertajuk “The Capitalist Control of K-Pop: The Idol as a Product” (Oktober 2019) menyatakan asimilasi musik-musik Barat dengan budaya Korea melahirkan The Kim Sisters, cikal-bakal girlband K-Pop hari ini. Bedanya, The Kim Sisters hanya menyanyi untuk prajurit-prajurit Amerika Serikat yang bermarkas di Korea Selatan.

Barulah kemudian di era kepresidenan Park Geun-hye, K-Pop, film, serial TV, hingga fesyen Korea Selatan menebar pesona ke seluruh penjuru dunia. Bagi Geun-hye, budaya adalah kekuatan diplomasi. Sebuah pandangan yang mesti masih banyak diremehkan, sudah terbukti andal. Mau tidak mau, budaya pop Korea memang sudah menjamur. Bahkan, kemenangan Parasite di ajang sekelas Oscar adalah bukti terbarunya.

K-Pop adalah salah satu sumber uang melimpah Korea Selatan, selain Samsung dan Hyundai. BTS, salah satu boyband Korea misalnya, menyumbang $3,6 miliar pada PDB Korea Selatan. Selain itu, idola-idola K-Pop pun diterjunkan untuk melakukan “diplomasi halus”. EXO misalnya, bernyanyi dalam acara Olimpiade Muslim Dingin. Lalu, ada BTS yang tampil di Sidang PBB, SHINee yang beraksi di Asia Leadership Conference yang dihadiri Barack Obama, dan Red Velvet yang menjadi utusan kepada Kim Jong-un.

Sayangnya, kisah sukses K-Pop memakan tumbal dari punggawa-punggawanya sendiri.

Studi Hinsberg dan Valge menuturkan banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi idola K-Pop, yakni wajah menawan, lajang, heteroseksual, dan calon idola harus dapat dijangkau oleh penggemar, khususnya yang berlainan jenis kelamin.

Ada harga yang harus dibayar untuk memenuhi sebagian syarat itu. Misalnya, untuk memperoleh wajah menawan yang direpresentasikan dengan kulit bercahaya dan tubung langsing, calon idola melakukan operasi plastik. Lalu, karena yang lajang lebih diutamakan, bintang K-Pop dilarang berpacaran. Hyuna dan E’Dawn, misalnya, dipecat Cube Entertainment karena terbukti memiliki hubungan asmara.

Hubungan asmara, menurut banyak manajemen K-Pop, merusak citra idola di depan para penggemar yang bagi industri tersebut sudah setara dengan rating di dunia televisi atau klik di kancah media online. Ketidaksukaan penggemar bisa merusak peruntungan idola K-Pop.

Untuk menghasilkan produk berkualitas, calon idola K-Pop tidak bisa lahir dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Tetapi tahunan. Pelatihan idola K-Pop diselenggarakan oleh pihak manajemen, yang disebut "Factory Model" oleh Matthew Campbell dalam kolomnya di Bloomberg.

Pelatihan bersifat wajib dan mengikat. Di sana, calon idola harus menandatangani kontrak pelatihan dengan prinsip rigid and replaceability, yang memungkinkan pihak manajemen membentuk grup idola sesuka mereka, sesuai dengan selera pasar yang tak selalu bisa diprediksi.

Umumnya, kontrak antara calon idola dengan manajemen berdurasi lebih dari tujuh tahun. Selama masa pelatihan atau karantina, calon idola dijejali banyak pelajaran. Namun, menurut Campbell, yang mengerikan adalah keharusan calon idola untuk tidak "cacat secara moral". Segala rupa kehidupan calon idola selama menjalani masa pelatihan dikendalikan dengan sangat ketat, bahkan ketika mereka ingin berhubungan dengan pihak keluarga.

Makan, minum, bersikap, apa yang boleh dan tidak, hingga jam tidur dikendalikan manajemen. Alhasil, menurut Campbell, idola K-Pop lebih layak disebut sebagai “produk bikinan pabrik” alih-alih manusia.
Selepas “lulus” dari masa pelatihan, idola K-Pop menjadi sosok yang mengabdi pada penggemar. Brian Joo, mantan idola K-Pop,  pernah menyatakan bahwa para penggemar selalu menganggap bahwa apa yang dilakukan idolanya adalah untuk penggemar semata. Dengan anggapan itu maka tidak ada privasi secuil pun bagi idola K-Pop.

“Para penggemar telah mengancam hidupku, juga teman dan keluargaku bertahun-tahun. Seolah-olah aku hanya hidup untuk mereka,” papar Joo.

Hidup yang didikte oleh manajemen dan penggemar mengubah sosok idola K-Pop yang tadinya manusia menjadi benda mati. Mereka menjadi produk ekspor andalan Korea Selatan--bak Samsung Galaxy. Kecenderungan bunuh diri semestinya bukan hal yang mengherankan lagi.

Intinya, suka atau tidak dengan budaya K-Pop, kepopuleran mereka memang bagaikan pisau bermata dua. Mereka mungkin terkenal dan hidup mewah, tetapi tekanan batin yang mereka rasakan juga begitu dalam dan membuat mereka ingin segera mengakhiri hidup. Apakah ini baik? Tergantung siapa yang melihat. Karena pada dasarnya, semuanya selalu dilihat dari sisi yang dinamakan perspektif. Adios.



Referensi:
1. https://tirto.id/goo-hara-dan-kejamnya-industri-k-pop-emoC
2. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Goo_Hara
3. https://www.bloomberg.com/news/features/2019-11-06/k-pop-s-dark-side-assault-prostitution-suicide-and-spycams
4. https://www.vox.com/2019/11/24/20980363/k-pop-star-goo-hara
5. https://edition.cnn.com/2019/10/14/entertainment/k-pop-star-death-scli-intl/index.html