Kisah Pilu The Sin Nio, Sang Pahlawan Wanita Indonesia Dengan Berani Melawan Pasukan Belanda



Kisah Pilu The Sin Nio, Sang Pahlawan Wanita Indonesia Dengan Berani Melawan Pasukan Belanda - Salah satu berita di majalah Sarinah tahun 1984
The Sin Nio (Prajurit TNI)
Kisah Pilu Perempuan Pahlawan Bangsa

Perempuan Tionghoa ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18, dibawah komando Sukarno (terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Dubes RI untuk Aljazair). Yang istimewa, Sin Nio adalah satu2nya prajurit perempuan dalam kompi tersebut.

Semasa berjuang, Sin Nio pada awalnya hanya bermodalkan senjata sederhana berupa golok, bambu runcing dan tombak. Sampai akhirnya suatu ketika gadis pejuang tersebut berhasil merampas senapan jenis LE dari pihak Belanda.

Dari bagian tempur, kemudian Sin Nio dipindahkan kebagian perawat atau palang merah, karena ada kekosongan juru rawat, padahal banyak sekali pejuang yang terluka dan butuh perawatan medis. Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik.

Setelah kemerdekaan dan kondisi negara mulai aman, srikandi ini memutuskan menikah dan akhirnya memiiliki 6 anak dari 2 orang suami, yang keduanya berakhir dengan perceraian.

Sebagai janda dengan 6 anak, tentu hidup Sin Nio sangatlah berat, dan hal ini membulatkan tekad keberangkatan dirinya dari Wonosobo ke Jakarta. Keputusan ini juga diakibatkan oleh karena pejuang ini tak mendapatkan pensiun, yang semestinya adalah haknya sebagai pejuang kemerdekaan. Keberangkatan nya ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya. Saya menduga ini karena Sin Nio berasal dari etnis Tionghoa, sehingga pensiunnya dipersulit.

1973, pejuang ini sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama 9 bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.

Kemudian setelah itu beliau terpaksa hidup menggelandang di Ibukota, satu pilihan menyedihkan bagi seorang pejuang bangsa, bayangkan perempuan pejuang berusia sekitar 60 tahun harus hidup menggelandang dikerasnya ibukota. Kehujanan kepanasan tanpa tempat tinggal yang jelas.

Perjuangan panjang akhirnya pada tanggal 29 Juli 1976 The Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta. SK ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo, juga sebagai saksi mata ditandatangani ooeh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Dipinegoro.

Tragisnya, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiunnya, sehingga Sin Nio tetap hidup sebagai gelandangan. Beliau hidup menggelandang diseputaran disekita pintu air tak jauh dari mesjid Istiqlal Jakarta.

Uang pensiun sebesar Rp 28.000,- per bulan akhirnya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. Tapi uang sebesar itu tak mampu mencukupi kebutuhan lainnya, sehingga Sin Nio hanya bisa tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA.

The Sin Nio bersikeras tak mau pulang lagi ke Wonosobo, bahkan dia tak pernah lupa untuk tetap mengirimkan uang kepada anak cucunya di kampung halaman. "Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dalam tempat seperri ini!" . Jiwa pejuang sejati!

Pernah ada janji dari Menteri Perumahan, Cosmas Batubara, bahwa Sin Nio akan diberikan rumah di Perumnas. Tapi janji tinggallah janji.

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. The Sin Nio telah mempertaruhkan nyawanya diujung peluru demi tegaknya kemerdekaan Indonesia, tapi apa balasan yang didapatnya?

Tak diketahui, bagaimana kisah akhir kehidupan pejuang bangsa ini, apakah kemudian beliau menghilang begitu saja, atau dia menghindar dari kita bangsa Indonesia, dan berucap :

"Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!" (Ir. Azmi)

Tuhan, maafkan kami!

Kita Sebangsa Setanah Air dan Setara
Merdeka!!
#azmiabubakar
#museumpustakaperanakantionghoa

Sumber:
Majalah Sarinah, 6 Agustus 1984