Post-Graduation Crisis : Krisis Pasca Kelulusan - Well, yo. _. Long time no see, angkatan corona di sini
Jadi, ada yang lulusan SMA/sederajat yang sama dengan aku? Yang katakanlah, lulus hasil gatcha, wqwq. Oke, serius, itu bukan poinnya.
Post-graduation crisis adalah krisis yang biasanya terjadi pada anak-anak fresh graduation (baik sekolah ataupun kuliah) dan tak punya rencana hidup setelahnya; planning tak ada, imrov pun tak kuasa. Singkatnya, mengambang tak tahu harus melakukan apa.
Krisis ini ditandai dengan kebingungan besar yang seringkali diikuti stres berkelanjutan dan krisis keuangan. Dalam banyak kasus pula, penderitanya mengalami depresi; apatis, tak bisa benar-benar merasakan emosi seperti bahagia atau kesedihan, malu terhadap lingkungan sekitar, alhasil sering berakhir hanya dengan tetap penghuni kamar.
Kasarnya; pengangguran.
Fase-fase yang ada, antara lain;
Pertama, kamu tak mau berusaha untuk meraih mimpimu; atau bahkan, ironisnya, kamu sama sekali tidak memiliki mimpi.
Kebanyakan fresh graduation, orang-orang yang baru lulus dari studinya, sudah jauh-jauh hari merencanakan akan kemana mereka akan melanjutkan studi selanjutnya atau pekerjaan yang akan mereka ambil. Mencari informasi universitas-universitas, menyiapkan berkas-berkas yang sekiranya diperlukan, mencuri start belajar untuk tes masuk universitas, mulai melatih fisik untuk masuk kedinasan, mencari relasi, dsb. Bahkan jikalaupun kamu berasal dari keluarga kurang mampu, kamu akan berusaha mencari cara untuk mendapat beasiswa dan semacamnya.
Tetapi, jika kamu mengalami post-graduation krisis, bahkan sama sekali tak tertarik untuk hal-hal semacam itu. Kamu hanya ingin lulus tanpa memikirkan akan kemana kamu selanjutnya.
Kedua, saat kamu gagal, kamu tak mau berusaha mencari jalan lain.
Banyak sekali kasus ini, semisal saja tak lulus SNMPTN, langsung menyerah, langsung memutuskan untuk tak akan kuliah padahal masih banyak jalur lainnya yang masih dibuka.
Tak diterima di satu pekerjaan, tak mau untuk mencari pekerjaan lain. Bahkan jika pekerjaannya tak sesuai dengan angan-anganmu, kamu langsung menolaknya tanpa mau setidaknya mencoba. Dengan kata lain, gengsimu terlalu besar.
Ketiga, kamu malu untuk bergantung pada orang lain, bersama rasa tak enak hati yang berujung pada tekanan batin.
Oke, paham? Iya, gitu.
Berat sekali rasanya saat tak mampu untuk membalas jasa orangtua dengan bantuan materi. Bahkan untuk sekadar makan sesuap nasi pun rasanya segan, seperti intimidasi tak kasat mata yang terus menekan. Belum lagi ditambah sindiran-sindiran nyata yang juga mau tak mau memang menambah beban.
Ingin mencari pekerjaan tak dapat-dapat, ingin kuliah tak satu pun universitas yang menerima, ingin menikah belum ada yang mau, berat.
Jadi, begitulah. Ini akan menjadi fase yang sulit, aku tahu. Yang aku tidak tahu hanyalah apakah aku bisa atau tidak untuk melewatinya.
Sekali lagi, berat.