Salah satu isu yang diangkat oleh orang-orang yang phobia terhadap Islam adalah Islam berhasil menjadi agama besar di dunia ini karena ekspansi pedang-pedang mereka ke wilayah-wilayah non-muslim. Mereka mencantumkan peristiwa-peristiwa penaklukkan dan peperangan Islam untuk menguatkan opini tersebut. Akibatnya banyak orang-orang non-muslim menjadi antipati dengan agama yang menebarkan kedamaian ini dan umat Islam yang lemah iman dan minus perbekalan ilmiahnya merasa malu dan menyesali rekam jejak sejarah agamanya sendiri.
Benarkah Islam tersebar dengan pedang? Alangkah baiknya kita kaji permasalahan ini, agar kita bisa memutuskan benar atau tidak tuduhan tersebut.
Tidak Ada Paksaan Untuk Memeluk Islam
Sebelum kita beranjak ke data-data historis tentang peperangan di dalam Islam, ada sebuah kaidah yang perlu dipahami bahwa umat Islam dilarang memaksa, mengancam, dan memberikan tekanan suatu kelompok atau individu tertentu agar mereka memeluk Islam. Allah Ta’ala berfirman,
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang sebab diturunkannya ayat ini, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan salah seoarang Anshar (sahabat Nabi dari Madinah) dari Bani Salim bin Auf. Al-Hushaini mengatakan, ‘Sahabat ini memiliki dua orang anak laki-laki yang beragama Nasrani dan dia seorang muslim. Lalu ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku memaksa keduanya karena mereka menolak agama kecuali agama Nasrani. Allah pun menurunkan ayat ini’.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Jadi, tidak diperkenankan seorang muslim memaksa seseorang atau kelompok tertentu untuk memeluk Islam walaupun orang atau kelompok tersebut di bawah kekuasaannya. Kalau ternyata penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan oleh umat Islam memeluk agama Islam, itu bukan dikarenakan paksaan atau tekanan dari pihak muslim yang berkuasa, akan tetapi dikarenakan kedamaian yang mereka temukan dalam ajaran Islam. Contohnya nyatanya adalah tentang keislaman Tsumamah bin Utsal.
Penyebab Peperangan
Ketika berbicara sejarah, maka prinsip yang wajib dipegang oleh seseorang adalah peristiwa-peristiwa sejarah ditafsirkan dengan norma, kebiasaan, atau sebab-sebab yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Seseorang terjebak dalam kekeliruan yang fatal ketika dia mengintepretasi peristiwa sejarah dengan membandingkannya dengan norma, kebiasaan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman ia hidup.
Berikut ini, penulis cuplikkan penyebab terjadinya perang dalam sejarah Islam:
– Perang di Masa Rasulullah
Perang di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi dalam rentang 10 tahun masa Madinah. Selama itu terjadi kurang lebih 25 atau 27 peperangan. Jamak diketahui, pemicu peperangan melawan bangsa Quraisy adalah provokasi orang-orang Quraisy terhadap umat Islam bahkan sebelum beliau hijrah ke Madinah kafir Quraisy telah menunjukkan permusuhan mereka.
Adapun penyebab peperangan dengan orang-orang non-Quraisy seperti Perang Mu’tah dan Tabuk yaitu:
Perang Mu’tah disebabkan oleh dibunuhnya utusan Rasululluah yang bernama al-Harits bin Amir al-Azdi oleh orang Ghassan yang beranama Syarahbil bin Amr. Dalam tradisi klasik, bagaimanapun besarnya permusuhan antara dua negara, jaminan keselamatan terhadap utusan tetap harus dihormati. Pembunuhan terhadap utusan adalah sebuah tindakan culas yang sangat keterlaluan. Karena hal inilah terjadi Perang Mu’tah.
Perang lainnya adalah Perang Tabuk. Perang Tabuk disebabkan orang-orang Romawi menghimpun pasukan yang besar di Syam untuk menyerang negara Islam. Rasulullah memerintahkan pasukannya untuk menghadang orang-orang Romawi ini sebelum mereka memasuki wilayah-wilayah umat Islam.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa umat Islam tidak melakukan provokasi terlebih dahulu, akan tetapi musuh-musuh Islam lah yang pertama kali menabuh gendang peperangan.
– Masa Khulafaur Rasyidin
Para Khulafaur juga menanamkan kepada kaum muslimin bahwa peperangan pun ada norma-normanya. Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan kepada pasukan Islam, “…Jangan melakukan penghiantan dan melenceng dari kebenaran; jangan memutilasi jasad musuh; jangan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua; jangan menebang, merusak, dan membakar pepohonan, terutama yang sedang berbuah; jangan membunuh hewan ternak musuh; dan kalian akan melewati orang-orang monastik, jangan kalian ganggu mereka.” (Islamic Ruling on Warfare, Hal: 22).
Di zaman itu, aturan ini sesuatu yang unik. Mengapa dikatakan unik? Karena berabad-abad tradisi perang bangsa-bangsa yang ada pada saat itu (Persia dan Romawi), mereka tidak pernah memikirkan norma peperangan yang demikian. Mereka mengartikan perang adalah membunuh, menaklukkan, dan menguasai, adapun umat Islam memiliki perspektif yang berbeda dengan bangsa Romawi dan Persia dalam peperangan mereka.
Cara memandang peperangan yang berbeda antara umat Islam dan umat-umat lainnya berdampak pada saat umat Islam memasuki basis-basis Persia dan Romawi. Saat umat Islam sampai di wilayah Persia dan Romawi, umat Islam berhasil menarik simpati penduduk-penduduknya. Romawi kehilangan basis besar Nasrani tatkala pasukan Islam memasuki Syria dan Mesir. Orang-orang Syria dan Mesir berbondong-bondong memeluk agama Islam saat cahaya hidayah sampai ke wilayah tersebut. Sedangkan Persia lebih buruk lagi keadaannya, mereka bahkan kehilangan eksistensi di Irak tatkala negeri itu ditaklukkan oleh umat Islam. Luar biasanya, penduduk ini tidak dipaksa sama sekali untuk memeluk agama Islam.
Hal ini juga diterapkan oleh Umar bin Khattab tatkala menaklukkan Jerusalem.
Lihatlah apa yang terjadi pada hari ini, wilayah-wilayah Bizantium Romawi dan Persia dahulu, mayoritas penduduknya sekarang adalah muslim: Kristen di Mesir hanya (9%) dari jumlah penduduk, di Syria (10%), Irak (3%), dan Libanon (39%). Apabila penaklukkan yang dilakukan oleh umat Islam disertai dengan pemaksaan tentu saja komunitas muslim di sana tidak akan bertahan lama. Ini membuktikan Islam tidak disebarkan dengan pedang.
– Afrika Utara
Ketika umat Islam berhasil mengambil alih kekuasaan Bizantium Romawi di wilayah Afrika Utara, Islam pun semakin tersebar luas dan semakin banyak mendapat sambutan dari masyarakat dunia. Saat itulah bangsawan-bangsawan Eropa yang dimotori oleh Raja Julian meminta umat Islam agar menaklukkan penguasa zalim yang menguasai Andalusia, Raja Roderick. Mengapa Julian yang bukan seorang muslim meminta tolong kepada umat Islam? Karena mereka tahu, kalau umat Islam yang berkuasa, maka kedamaian dan keadilan akan tercipta.
– Penaklukkan India
Sebagaimana telah kita ketahui, negara dengan populasi Islam terbesar di dunia adalah negara kita, Indonesia. Lalu, tahukah Anda negara mana lagi yang memiliki populasi Islam terbesar? Jawabnya adalah Pakistan, kemudian India, dan Bangladesh di tempat ke-4.
Bani Umayyah berjasa besar terhadap masuknya Islam di tanah Hindustan ini. Melalui panglima mereka Muhammad bin Qashim ats-Tsaqafi, negeri yang dihuni oleh para penyembah berhala ini mengenal kemulian Islam, kemulian menyembah al-Khaliq bukan menyembah makhluk.
Pemicu ekspansi ini adalah kapal-kapal pedagang muslim yang biasa melakukan perniagaan dengan orang-orang Sri Lanka dibajak oleh sekelompok bajak laut dari wilayah Sindh (Pakistan sekarang). Para perompak ini menawan dan menjadikan para muslimah yang tertangkap sebagai budak. Untuk membebaskan saudara-saudara muslim ini diutuslah Muhammad bin Qashim bersama pasukannya. Muhammad bin Qashim pun berhasil menaklukkan para perompak tersebut.
Peristiwa ini menjadi isu yang panas di India, namun inilah titik baliknya. Orang-orang Hindu yang mengenal kasta dan orang-orang Budha yang tertindas oleh bangsawan Hindu melihat sebuah agama baru, agama yang menawarkan persamaan, dan kemuliaan diukur dengan ketakwaan bukan nasab dan golongan. Akhirnya orang-orang India pun berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Perbandingan Perang Islam dengan Non Islam
Setelah dijelaskan tentang penyebab peperangan yang terjadi antara umat Islam dan non Islam, sekarang kita lihat dampak dari perang dilihat dari sisi korban yang berjatuhan.
Lihatlah 10 tahun peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaih sallam, korban yang gugur kurang lebih sejumlah 262 orang dari pihak umat Islam dan 1022 jiwa dari pihak musuh. Jadi total korban peperangan dari kedua belah pihak yang terjadi dalam rentang waktu 10 tahun tersebut adalah 1284 jiwa.
Raghib as-Sirjani mencoba menghitung jumlah keseluruhan pasukan selama peperangan yang terjadi di masa Rasulullah lalu ia prosentasekan dengan jumlah korbannya. Hasilnya adalah sebagai berikut:
– Prosentase umat Islam yang syahid di medan peperangan dibandingkan dengan jumlah seluruh pasukan Islam hanya 1% saja.
– Prosentase orang-orang musyrikin dibandingkan dengan jumlah seluruh pasukan mereka adalah 2%.
– Prosentase secara keseluruhan dari kedua belah pihak hanya 1,5% saja.
Bandingkanlah dengan prosentase korban yang tewas pada Perang Dunia II. Jumlah pasukan yang turut serta dalam perang dahsyat ini berjumlah 15.600.000 pasukan, jumlah orang yang tewas adalah 54.800.000 jiwa, artinya 351% dari jumlah pasukan. Mengapa bisa demikian? Karena peperangan ini juga memakan korban sipil yang sangat banyak, dan hal ini tidak pernah terjadi di masa Islam.
Belum lagi jika kita bandingkan dengan ekspansi bangsa Eropa terutama Portugal dan Spanyol. Mereka membawa misi gold, gospel, dan glory; mereka menguras sumber daya, menguasai, dan mencari kejayaan dari ekspansi tersebut. Terbukti dengan punahnya Suku Indian Maya akibat ekspansi mereka ke benua Amerika. Penjajahan Belanda di Indonesia yang mengeruk sumber daya alam di Indonesia dan mejadikan masyarakatnya rakyat kelas bawah, dll.
Kesimpulan
Apakah Anda masih percaya Islam disebarkan dengan pedang? Apakah umat Islam yang masih merasa malu dan minder terhadap sejarah mereka?
Islam memiliki alas an perang yang jelas, dan perang dalam sudut pandang Islam tidak diartikan melulu sebagai pembunuhan, pembantaian, dan penguasaan wilayah.
Tambahan :
Perundang-undangan tentang berperang terdapat pada dalil di dalam Al-Qur'an dan hadits. Perintah tersebut diantaranya adalah:
1 Umat Muslim hanya dibolehkan membunuh, mengusir[3] dan memerangi umat kafir yang telah memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang melampaui batas.[4]
2 Dilarang berperang di Masjidil Haram, kecuali umat kafir telah memerangi terlebih dahulu ditempat tersebut.[3]
3 Jika pihak musuh sudah berhenti memerangi dan tidak adalagi kerusakan maka diwajibkan untuk berhenti berperang.[5][6][7]
Berperang hanya dijalan yang diperintahkan oleh Allah.[8]
4 Wajib melindungi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan terhadap Umat Muslim.[9]
5 Dilarang berperang di Bulan-bulan Haram (Muharram, Rajab, Zulqaidah, Zulhijah) kecuali berperang karena membela diri[10]
Sumber:
– Enein, Youssef H Aboul., Sherifa Zuhur. 2004. Islamic Ruling on Warfare. The Strategic Studies Institute.
– Tafsir Ibnu Katsir