1 Mei, Mengenang Tragedi Kematian Ayrton Senna




1 Mei, Mengenang Tragedi Kematian Ayrton Senna - Being second is to be the first of the ones who lose”

Mentalitas macam apa yang Anda miliki tatkala berujar bahwa ada di peringkat kedua atau ketiga merupakan prestasi? Lebih-lebih menyebut posisi empat yang dihadiahi tiket ke kompetisi antarklub Eropa merupakan sebuah hal yang superb.

Tak perlu mendustai diri, rasanya jengah juga kan tidak menjadi yang pertama? Karena kita semua tahu, hanya ada satu juara dan satu pemenang, si nomor satu.

Layaknya kutipan di atas yang memang ucapannya, menjadi yang terbaik memang tujuan hidup seorang Ayrton Senna da Silva, pria kelahiran 21 Maret 1960 asal Sao Paulo. Dialah pebalap Formula 1 (F1) yang punya tiga gelar juara dunia, yakni pada 1988, 1990, dan 1991.

Penggila balap jet darat pada era 1980-an hingga awal 1990-an jelas mafhum benar bagaimana sepak terjang Senna di lintasan balap. Pun begitu dengan persaingan ketatnya melawan Nigel Mansell, Nelson Piquet dan Alain Prost. Rivalitasnya dengan Prost bahkan menjadi yang paling kesohor dan panas sepanjang sejarah F1.

Bicara tentang Senna, maka sulit untuk menepikan kepribadiannya yang sangat luar biasa. Sayangnya, Senna dengan segenap bakat, etos kerja, dan hal-hal menakjubkan lainnya tewas dengan cara mengenaskan.

Adalah GP San Marino 1994 di sirkuit Imola yang menjadi kisah horor bagi F1 dan dunia sepanjang masa. Balapan itu sendiri merupakan seri ketiga dalam kalender balap musim 1994.

Pada Sabtu (30/4) para pebalap turun ke lintasan untuk melakoni sesi kualifikasi demi memperebutkan posisi start. Semuanya terlihat baik-baik saja pada awalnya, hingga kemudian Roland Ratzenberger dengan mobil Simtek-nya tewas akibat kerusakan sayap depan mobil sehingga meluncur deras keluar lintasan sebelum menghajar tembok pembatas di pinggir trek.

Peristiwa menyedihkan itu terjadi di Villeneuve Curva, tikungan ketiga di Imola (berdasarkan lay out sirkuit yang lama). Senna yang kala itu ada di paddock dan menyaksikan dari televisi langsung memalingkan muka seraya menutupnya dengan tangan.

Sorot matanya memancarkan rasa sedih, jeri, dan bimbang. Kala babak kualifikasi dilanjutkan, Senna tak turun lagi ke lintasan.

“Senna benar-benar syok. Sepanjang kariernya, dia tak pernah sekalipun menemui kejadian di mana seorang pebalap tewas di atas aspal. Senna merupakan orang yang pasrah jika menyangkut kematian. Dirinya amat religius dan paham dengan hal tersebut,” terang Profesor Sid Watkins, sahabat akrab Senna yang saat itu menjadi Kepala Komite Medis FIA (Federation Internationale de Automobile)

Akhir pekan tersebut, dirinya terlihat tidak seperti Senna yang biasanya. Tatapannya diliputi kengerian, mimiknya pasrah dan nyaris tanpa senyuman, dirinya tak banyak bicara dan gestur tubuhnya begitu gusar. Bahkan saat memasuki kokpit mobil Williams-Renault miliknya jelang start balapan yang digelar tepat pada tanggal 1 Mei, langkah dan tingkah lakunya berbeda. Matanya menerawang jauh entah ke mana.

Senna berhasil melakukan start sempurna sekaligus mempertahankan posisi terdepan (dirinya berhasil menempati pole position usai menjadi yang tercepat di kualifikasi jauh sebelum Ratzenberger mengalami kecelakaan fatal).

Namun, kecelakaan yang menimpa J.J. Lehto dan Pedro Lamy pasca-lomba dimulai membuat safety car dipaksa keluar trek guna memberikan waktu kepada para petugas untuk membersihkan debris (serpihan-serpihan mobil, red.) yang ada di lintasan.

Jelang lap keenam, safety car masuk ke pit dan balapan pun kembali berlangsung normal. Senna langsung memacu mobilnya diekori oleh Michael Schumacher yang mengendarai Benetton-Ford. Senna terus menggeber mobilnya untuk menciptakan jarak signifikan dengan Schumacher yang terpaut jarak tak sampai satu detik di belakangnya.

Namun tragedi yang dikhawatirkan dan menghantui Senna itu terjadi juga di lap ke-7. Saat memimpin lomba dan memacu mobilnya sampai 310 km/jam melintasi tikungan Tamburello, tiba-tiba mobilnya keluar jalur dan menghajar dengan dahsyat tembok yang ada tepi sirkuit. Mobilnya hancur lebur, Senna sendiri kaku di kokpitnya.

Konon, batangan suspensi Williams-Renault yang dikemudikannya patah sehingga dirinya tak mampu mengontrol laju mobilnya meski sempat membejek keras rem sehingga kecepatan mobilnya turun hingga 218 km/jam sebelum membentur dinding. Senna kemudian dilarikan ke rumah sakit Maggiore di Bologna tapi naas, nyawanya tak bisa diselamatkan.

Duka pun menyelubungi F1 dan penggemar setianya akibat kehilangan salah satu pebalap paling heroik dan jenius serta dicintai banyak fans. Cita-cita Senna merengkuh gelar dunia keempatnya pun pupus bersamaan dengan peristiwa tersebut.

Senna adalah sosok yang membuat orang-orang (di Brasil) rela bangun pagi dan menyaksikan bendera Brasil berkibar-kibar pada saat negeri mereka dilanda krisis politik. Senna adalah representasi kemenangan bagi rakyat Brasil

Kematiannya saat itu seakan membawa publik ke sebuah dimensi yang tak pernah terjadi sebelumnya perihal kesadaran. Kematian Senna yang tragis benar-benar menjadi sebuah trauma nasional (di Brasil) dan dunia karena setiap orang menyaksikannya sendiri di televisi, lanjutnya.

Senna dan Selecao

Pada satu hari di musim semi, tepatnya awal April, Senna bersua dengan skuat tim nasional Brasil di Paris, Prancis. Ketika itu tim Selecao asuhan Carlos Alberto Parreira akan melakukan laga persabahatan di Stadion Parc Des Princes sebagai persiapan jelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.

Senna menemui kami. Pada tahun itu, Senna ingin meraih gelar dunianya yang keempat. Begitu juga dengan timnas Brasil. Saya masih ingat ketika itu Senna berujar dengan penuh determinasi bahwa tahun 1994 adalah tahun kita (Senna dan timnas Brasil), papar Leonardo, punggawa timnas Brasil di Piala Dunia 1994

Sesudah mengetahui bahwa Senna berpulang keharibaan Tuhan Yang Maha Esa hanya beberapa pekan setelah bertemu, jelas membuat seisi skuat timnas Brasil diliputi kepiluan. Salah seorang sahabat dan panutan telah pergi.

Di mata masyarakat Brasil, Senna memiliki posisi sejajar dengan Pele, yakni ikon olahraga Brasil pada bidang yang mereka geluti masing-masing.

Diakui atau tidak, seisi skuat Brasil yang berangkat ke Piala Dunia 1994 menyemai cita-cita merengkuh gelar dunia keempat tak hanya sebagai penguat status sebagai juara dunia terbanyak namun juga persembahan berharga untuk sosok mahahebat seperti Senna.

Seakan terinspirasi oleh gaya balap Senna yang beringas namun penuh perhitungan, cepat dan penuh determinasi, timnas Brasil pun terlihat sulit ditaklukkan kala itu.

Sudah 25 tahun Senna tiada, akan tetapi namanya akan selalu diingat sebagai salah satu yang terbaik, sebagai seorang legenda.