Prediksi Perilaku Konsumen di NEW NORMAL Ditengah Covid-19, Apa Saja Dampaknya?






Prediksi Perilaku Konsumen di NEW NORMAL Ditengah Covid-19, Apa Saja Dampaknya? - COVID-19 terbukti punya dampak yang begitu sistemik, bukan hanya dari sisi kesehatan tapi juga perekonomian.

Ketika miliaran orang di seluruh dunia mengurangi aktivitasnya dan menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat.

Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online.

Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini khatam menuntun anaknya bersekolah dengan layanan kelas daring dan konferensi video.

Bahkan dalam hal transaksi yang sebelumnya menggunakan uang tunai, kini lazim memanfaatkan dompet elektronik.

Melalui ancaman mematikannya, Covid-19 berhasil membuat mereka gaptek menjadi jauh lebih fasih berdigital,

COVID-19 tak hanya membunuh manusia.

COVID-19 juga membunuh PRODUK.

COVID-19 juga membunuh BISNIS dan INDUSTRI.

Bahkan COVID-19 membunuh KEBIASAAN-KEBIASAAN kita selama ini.

Berikut ini adalah PRODUK, BISNIS, dan KEBIASAAN yang dibunuh oleh COVID-19.

#1. Handshake & “Cipika-Cipiki”

Tradisi jabat tangan sudah ada sejak abad ke-5 sebelum Masehi di masa kerajaan Yunani kuno. Jabat tangan adalah simbol dari perdamaian, untuk menunjukkan bahwa masing-masing pihak yang berjabat tangan tidak membawa senjata untuk saling melukai atau membunuh. 

Namun celaka, tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad itu bakal punah oleh adanya COVID-19. Dengan adanya social distancing dan contact-free lifestyle yang muncul karena adanya COVID-19, kita tidak lagi berjabatan tangan untuk menghindari penyebaran virus mematikan tersebut. 

Tak hanya itu, tradisi berpelukan dan “cipika-cipiki” yang selama ini menjadi simbol persaudaraan dan keakraban bakal terancam punah karena kita takut tertular COVID-19.



#2. Consumer Confidence  

COVID-19 membuat masyarakat cemas dan takut. Takut terpapar virus, takut kehilangan nyawa, takut krisis ekonomi, takut perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut, takut kehilangan pekerjaan, dan takut jatuh miskin. 

Semua ketakutan ini membuat konsumen tak yakin akan masa depan perekonomian. Mereka menjadi pesimis terhadap prospek perekonomian. Mereka pesimis terhadap ketersediaan lapangan kerja. Dan mereka pesimis karena kondisi keuangan bakal memburuk.   

Consumer Confidence Index (CCI) bulan April terjun ke posisi 84.8 dari 113.8 sebulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang terendah sejak July 2008. Di bulan Mei dan bulan-bulan berikutnya, sudah bisa ditebak angka CCI ini akan semakin terjun bebas. 

COVID-19 telah membunuh consumer confidence. 



#3. Prostitution

COVID-19 memaksa setiap orang menjaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi dunia prostitusi yang dy-default membutuhkan aktivitas yang contact-intensive dan intimate-intensive. 

Tak heran prostitusi adalah salah satu yang paling terdampak oleh adanya pandemi. Di seluruh dunia para PSK (pekerjan seks komersial) tak bisa mendapatkan income karena tak ada lagi konsumen. 

Sementara di India, seorang PSK Neva (bukan nama sebenarnya) mengatakan, “If the situation persists, there will be only one option left for me: suicide,” 

Celakanya, umumnya para pekerja seks ini tidak tercakup dalam program jaring pengaman sosial pemerintah. Sehingga di seluruh dunia kini banyak LSM yang bergerak di bidang perlindungan pekerja seks melakukan pengumpulan dana untuk membantu mereka.   



#4. Mudik

Pandemi juga tidak memungkinkan kita mudik tahun ini. Bahkan secara resmi pemerintah telah mengeluarkan larangan mudik yang efektif berlaku sejak 24 April 2020. Langkah ini dilakukan demi memutus rantai penularan COVID-19.

Beralasan, karena kerumunan di kantong-kantong mudik di kampung dikhawatirkan akan menjadi medium penularan Covid-19 karena para perantau umumnya merupakan orang yang tinggal di episentrum COVID-19.

Mengacu data mudik Kemenhub, pada musim mudik tahun 2019 lalu terdapat pergerakan 7,2 juta pemudik selama H-7 sampai H+1 lebaran. Bisa dibayangkan jika jutaan orang yang berada di zona merah itu tumplek–blek  di kampung. Kasus terinfeksi bakal makin menggila.  



#5. “9-t-5” Work Hour

Dalam buku Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan, ke depan milenial “membunuh” jam kerja “9-to-5”. 

Rupanya Covid-19 membunuhnya lebih cepat. Saat ini semua karyawan dipaksa untuk menjalankan “work from home” (WFH). Sehingga mereka berkesempatan melakukan “eksperimen” untuk menjalankan pola kerja flexible working hour (FWH). 

Awalnya memang denial (apalagi harus menggunakan platform digital remote working seperti Zoom atau Webex), namun setelah berjalan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, maka mereka mulai terbiasa, menikmatinya, dan ketagihan. Mereka makin produktif karena lebih banyak waktu berkumpul dengan keluarga.


#6. Air Pollution

COVID-19 menjadikan langit kota-kota tersibuk di dunia semakin biru. Pandemi menjadikan pabrik-pabrik tak beroperasi dan kendaraan tak lagi hilir-mudik di jalan, maka polusi udara pun terpangkas drastis. 

Kota tersibuk New York misalnya, dengan adanya pandemi lalu-lintas kendaran berkurang 35%, polusi karbon monoksida turun tajam 50%, dan polusi CO2 turun 10%, begitu juga polusi metana. Di Cina, hanya dalam rentang waktu 2 minggu setelah lockdown penggunaa energi dan emisi turun 25%, sehingga memangkas 1% total emisi karbon kumulatif di Cina.

Tak ketinggalan, pandemi juga menjadikan langit Jakarta semakin biru. “Kami mendapati bahwa konsentrasi polutan baik debu yang beterbangan (SPM/suspended particulate matter) maupun debu polutan ukuran <10 mikron (PM 10) pada pekan ini, selepas tanggal 26 Maret relatif menurun dibanding pekan sebelumnya,” kata BMKG (8/4).   

Blessing in disguise, COVID-19 kills air polution.



#7. Cruise Vacation

“It might mark the end of the golden era: How covid-19 may sink the cruise-ship industry“, begitu bunyi judul tulisan di majalah Economist (2/5) yang begitu pas menggambarkan nasib industri kapal pesiar.  

Selama ini industri kapal pesiar menikmati masa keemasan. Namun begitu akhir tahun lalu wabah menyebar, praktis industri ini mati. Recovery industri ini lebih berat karena “reputasi buruk” yang sudah terlanjur terbentuk sebagai tempat penularan COVID-19 terus membayangi benak travellers.
 
Industri ini akan mengalami perubahan mendasar setelah pandemi lewat: protokol kesehatan bakal diterapkan super ketat, peumpang dalam jumlah lebih kecil tidak ribuan seperti sekarang dan rute lebih pendek, dan kapal pesiar akan makin banyak mempekerjakan robot untuk meminimalisir kontak fisik. 



#8. Concert & Festival

Konser dan festival musik ternama seperti Glastonbury, Coachella, atau SXSW tak akan digelar tahun ini. Tak hanya yang besar, semua konser dan festival di seluruh dunia dibatalkan. Prediksi para analis pembatalan ini bakal terulang setahun bahkan dua tahun ke depan. 

Tak terlekkan lagi, konser dan festival adalah industri yang paling cepat terdampak COVID-19 sekaligus paling lama pulih. Alasannya sederhana, karena konser/festival membutuhkan kerumunan massa dalam jumlah besar. By-default, bisnis ini “menjual kerumunan”. Karena itu self-distancing  tidak dimungkinkan. Industri ini bakal betul-betul normal hanya jika vaksin penawar COVID-19 ditemukan. 

Memang kini sudah muncul penggantinya yaitu virtual concert. Namun perlu diingat, teknologi virtual reality secanggih apapun tak akan mampu menggantikan pengalaman fisik.



#9. Hotel

Pernyataan resmi dari Kemenparekraf awal April lalu, jumlah hotel yang tutup sementara karena COVID-19 sudah mencapai 1.500 di seluruh Indonesia karena tak lagi ada tamu. 

Untuk bisa bertahan hotal melakukan berbagai upaya survival mulai dari: meluncurkan paket seperti “work from hotel“, program staycation, menawarkan “hotel food delivery“, hingga jemput bola menawarkan on-demand cleaning service ke rumah-rumah.  

Pemulihan sektor pariwisata membutuhkan waktu lumayan lama. Menurut World Travel & Tourism Council (WTTC) industri ini baru pulih dalam waktu 10 bulan ke depan. Sementara Tourism Economics memperkirakan lebih lama lagi yaitu hingga tahun 2022. 



#10. Film & TV Production

Awal April lalu muncul pemberitaan luas bahwa Tom Hank terjangkit COVID-19 saat melakukan shooting film Elvis di Australia. Berita itu menjelaskan bahwa produksi film adalah aktivitas yang sangat rawan tertular COVID-19.  

Film adalah salah satu industri yang paling terdampak COVID-19 hampir di semua lini: produksi, distribusi karena semua gedung bioskop tutup, hingga penyelenggaraan festival/penghargaan yang dibatalkan. Produksi film box office seperti Mission: Impossible 7, Avatar 2, atau Matrix 4. Film-film baru yang harusnya dirilis antara Maret hingga November pun ditunda. Akibatnya industri ini mengalami kerugian hingga milyaran dolar.

Industri film Mandarin misalnya, bulan maret lalu mengalami kerugian sekitar $2 miliar karena film-flim tidak jadi tayang di tahun baru Cina. Di bulan yang sama Hollywood tekor sekitar $5 miliar. 
Karena pulihnya bioskop bakal lama, maka industri ini semakin mengandalkan distribusi secara digital melalui layanan streaming.



#11. Sport Event

Pandemi membawa dampak disruptif kepada event olahraga di seluruh dunia, yang terburuk sejak Perang Dunia II. Olimpiade, liga sepakbola, Wimbledon, balap mobil Formula, gelaran NBA, hingga Formula E di Monas ditangguhkan.  

Event olahraga termasuk tahan terhadap krisis. Terbukti pada saat krisis 1998, serangan teroris 9-11, maupun krisis 2008, event olahraga tetap marak.

Namun tidak demikian halnya dengan krisis COVID-19 saat ini. Keharusan social distancing menyebabkan pertandingan tidak bisa dijalankan, akibatnya tak ada tontonan, tak ada sponsor masuk, tak ada tiket terjual, dan akhirnya industri ini tumbang. 




#12. Physical Contact Sport

Datangnya pandemi menjadi mimpi buruk bagi cabang-cabang olah raga yang menuntut kontak fisik yang sangat intensif. Beberapa contoh dari olahraga tersebut adalah: gulat, judo, karate, sumo, taekwondo, tinju, rugby, basket, termasuk sepakbola.

Tak bisa dibayangkan bagaimana para atlit olahraga seperti tinju atau gulat berani melakukan aktivitasnya di tengah ancaman COVID-19 selalu mengintai. Mereka baru betul-betul berani berlatih dan bertanding hanya jika vaksin COVID-19 sudah ditemukan dan bisa dipakai secara luas.     



#13. Money Changer

Ketika perjalanan antar negara dibatasi karena pandemi, maka bisnis penukaran valuta asing (money changer) pun terpuruk. Di Bali misalnya, begitu turis tak datang ke Bali, maka pendapatan para pengusaha langsung anjlog bahkan nol karena tak ada lagi turis yang menukarkan uang. 

Tentu saja arus perjalanan orang antar negara akan terbuka kembali setelah pandemi lewat. Bangkitnya sektor ini akan tergantung dari pergerakan manusia antar negara. Leisure travel  mungkin masih belum pulih dalam waktu dekat, namun business travel  akan lebih cepat menggeliat dan menghidupkan bisnis ini kembali.



#14. MICE

Di era VUCA, perubahan terjadi begitu cepat dan ekstrim. Tiga tahun terakhir adalah era kejayaan leisure economy yang tumbuh begitu cepat, namun dengan adanya wabah COVID-19, pertumbuhan tersebut sontak berbalik arah. Industri ini praktis mati suri ”dibunuh” COVID-19. 

Tahun lalu kita masih menyaksikan konferensi tingkat nasional, regional, maupun global massif berlangsung tiap minggu. Pameran berbagai industri dari yang UKM hingga kelas raksasa. Begitu juga raker, meeting, workshop, maupun lokakarya oleh perusahaan dan instansi pemerintah di mana-mana. Namun kini seolah semuanya lenyap dibumihanguskan COVID-19. 

Macau sebagai kota destinasi MICE dengan 1500 lebih gelaran konvensi/pameran misalnya, bulan Maret lalu saja membatalkan 500 acara pameran. Bali setali tiga uang. Pariwisata Bali mandek, potensi kerugian dari leisure dan MICE mencapai USD 9 miliar, dan setidaknya butuh setahun untuk pulih kembali.   



#15. Gasoline

Dengan banyak pabrik dan fasilitas produksi terhenti karena wabah, ditambah mobilitas dan transportasi jauh berkurang, maka industri perminyakan termasuk sektor yang paling terdampak COVID-19. Itu sebanya nilai pasa industri ini turun sampai 40 (McKinsey, 2020). 

Pertengahan April lalu harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) terjun bebas, untuk pertama kalinya turun sampai minus 40 dolar per barel di pasar berjangka untuk pengiriman bulan Mei disebabkan kelebihan pasok. 

Begitu semua pabrik di Cina tutup maka hanya dalam beberapa hari polusi berkurang amat siknifikan. Hal ini akan semakin menyadarkan pentingnya mengakselerasi penggunaan energi terbarukan. Memang industri ini sudah waktunya surut dari peredaran, dan rupanya COVID-19 mempercepatnya. 



#16. Mall

Bisnis mal membutuhkan kerumunan massa. Itu sebabnya mal termasuk sektor yang paling terdampak COVID-19. Sebelum pandemi, mal sudah terdampak oleh adanya online shopping. Fortunately, dengan cepat mal beradaptasi menjadi tempat leisure, entertainment, dan culinary destination. 

Namun dengan adanya social distancing kini mal praktis tutup dan hanya membuka gerai supermarket dan penjualan essential goods. Mal butuh waktu untuk pulih karena “jantung” operasi bisnis ini adalah kerumunan massa. 

Pasca pandemi Mal akan berbeda dengan sebelumnya. Dengan masyarakat makin sadar self distancing, mereka akan selalu menghindari kerumunan termasuk kerumunan di mal. Mal akan betul-betul normal jika vaksin telah ditemukan dan dipergunakan oleh setiap orang.



#17. Fitness Studio  

Fitness studio dan gym termasuk yang paling terdampak pandemi karena memang rawan menularkan COVID-19. Aktivitas di ruang tertutup, kontak fisik, dan terutama berbagai peralatan fitness yang dipergunakan secara sharing akan menjadi medium penularan yang sangat mudah. 

Fitness studio dan gym di seluruh dunia tutup. Dan sebagai langkah survival pengelola menawarkan kelas-kelas kebugaran online. Pemulihan sektor ini bakal butuh waktu lama, karena itu pasca pandemi adopsi solusi digital yang mengoneksikan fasilitas fitness dengan member di rumah akan meningkat pesat.


Berikut ini adalah 30 prediksi saya mengenai perubahan perilaku konsumen di kenormalan baru (New Normal) selama dan setelah COVID-19 berlalu.



#1. The Fall of Mobility, The Rise of Stay @ Home

Wabah praktis menghentikan mobilitas dan memaksa orang untuk berdiam diri di rumah. “the death of mobility“. Krisis COVID-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba dimana hidupnya hanya di gua, yaitu rumah. “Welcome stay @ home economy.”


#2. Online-Shopping Widening+Deepening: From Wants to Needs

Pembelian online (online shopping) mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs). Belanja online konsumen melebar (widening) dari  barang-barang non-esensial ke esensial (daily needs). Dan mendalam (deepening) dimana volume pembeliannya makin besar. 


#3. Food Delivery: From “Indulgence” to “Utility”

Konsumen menghindari eating out dan beralih ke layanan delivery. Selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk jenis makanan “indulgence” yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti: boba tea, pizza, burger, atau ayam geprek) akan bergeser ke “utility” untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional) ke pemesanan berulang (habitual/routine).



#4. The Comeback of Home Cooking

Memiliki waktu cukup luang di rumah selama pandemi memberikan kesempatan bagi milenial mengasah keahlian baru yaitu masak. Dalam Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan milenial “membunuh” home cooking karena emak-emak milenial semakin kehilangan kemampuan memasak. Namun rupanya COVID-19 “menghidupkannya” kembali. 



#5. Frozen Food: Convenience Solution

Emak-emak milenial sudah terlanjur tidak piawai memasak. Walaupun stay  @ home menjadi momentum comeback-nya kebiasaan memasak, namun gaya memasak milenial berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih suka memasak yang simple dan convenient. Maka frozen food dan kemasan ready to cook akan menjadi pilihan. 



#6. Going Omni

Dengan matangnya online shopping  akibat COVID-19, maka brand-brand besar-menengah-kecil mulai hadir dengan platform omni channel-nya sendiri baik via website atau e-commerce dan tentu physical channels.  Mereka tak bisa lagi cuma mengandalkan marketplace besar yang sudah ada. Ingat, customer data is the new gold.



#7. Subscription Model Matters

COVID-19 memaksa konsumen membeli dan mengonsumsi secara serba online: Belanja grocery, menikmati film/musik, membeli makanan, bekerja dan belajar, bermain games, bahkan berolahraga dan yoga pun melalui live class secara online. Tak hanya, belanja online itu dilakukan secara rutin tiap hari atau berkala tiap minggunya. Karena kebutuhannya rutin dan terus menerus, model pembelian berlangganan akan lebih cocok dan efisien. Subscription model will matter.



#8. TV Strikes Back

Dalam buku Milenial Kills Everything (2019) kami mengatakan bahwa milenial telah membunuh televisi. Tapi, COVID-19 telah menghidupkannya kembali, khusunya smart TV. TV memiliki keunggulan dasar yang tak mungkin dimiliki smartphone yaitu layar besar yang lebih ramah dilihat. Karena itu memasuki era “the death of mobility” akibat social distancing, TV menemukan momentumnya kembali. 


#9. DIY & Self-Care @ Home

Ketika konsumen sudah terbiasa dengan stay @ home maka mereka mulai mencoba berbagai hal baru yang menyenangkan. Salah satunya melakukan self-care atau peremajaan diri seperti facial, meni-pedi, spa. Maka tren do it yourself (DIY) ini dapat menjadi kenormalan baru dan 
pembelian produk-produk self-care  secara otomatis mengalami kenaikan. 


#10. Zoomable Workplace @ Home

Work from Home memunculkan tren baru “zoomable workplace“ di rumah. Kalau sebelumnya populer istilah “instagramable” maka kini ada istilah tempat kerja di rumah yang “zoomable“. Tren ini dipicu oleh popularitas aplikasi Zoom untuk meeting virtual. 


#11. “Work-Live-Play” Balance: Well-Being Revolution

Ketika work from home (WFH) dan flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, maka batas waktu antara bekerja (working), mengurus keluarga dan menjalankan parenting  ke anak (living), dan menikmati leisure time (playing) menjadi kian kabur. Karena karyawan mengatur waktunya sendiri, maka mereka bisa mengatur keseimbangan working-living-playing  dengan lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kualitas dan kebahagiaan hidup (well-being). 

Get the ebook: Consumer Behavior New Normal after COVID-19: The 30 Predictions


#12. The Century of Self Distancing

Begitu wabah COVID-19 berlalu, tak serta-merta orang berinteraksi fisik seperti sediakala. Bayang-bayang kematian akibat virus akan terus menghantui. Self-distancing akan menjadi kebiasaan permanen. Memakai masker, mencuci tangan setiap saat, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan akan menjadi kenormalan baru. Akankah cipika-cipiki atau jabat-tangan punah dari muka bumi?  



#13. Contact-Free Lifestyle

Self distancing yang permanen akan melahirkan gaya hidup baru yaitu: “contact-free  lifestyle“. Belanja dilakukan secara online untuk menghindari paparan virus. Menerima barang dari layanan antar cukup di depan pintu tanpa kontak fisik. Menghindari kerumunan seperti nonton konser musik atau event olahraga yang syarat kontak fisik. Menghindari olahraga yang “contact-intensive” seperti gulat, tinju, karate, bahkan sepakbola. Jarak antar kursi di pesawat atau bioskop akan lebih lebar. 



#14. Low-Trust Society

Krisis Covid-19 juga turut membuat kecurigaan antar warga meningkat di masyarakat. Beberapa kasus penolakan jenazah positif COVID-19; pengusiran tenaga kesehatan karena takut tertular; atau penolakan pemudik oleh masyarakat di kampung saat lebaran, menciptakan kondisi yang saya sebut “low-trust society“. Social distrust di antara anggota masyarakat akan semakin tinggi.


#15. Constantly-Fear Customers

Di tengah krisis dan ketidakpastian. Orang mengalami kekacauan mental healthiness sehingga menjalani hari-hari dalam ketakutan. Takut akan krisis ekonomi, takut kehilangan pekerjaan, takut usaha bangkrut,takut tak mampu bayar hutang bank, takut diri dan keluarga terpapar virus, dan puncaknya takut terenggut nyawa. 


#16. Jamu Is the New Espresso

Jamu menjadi minuman yang paling banyak dicari saat ini. Ketika para ahli mengatakan bahwa mpon-mpon yang merupakan bahan dasar minuman jamu dapat menangkal virus COVID-19, jamu langsung laris manis di pasaran. Wabah COVID-19 menjadikan jamu sebagai lifestyle. Jamu is the new espresso. 


#17. Halal (Thoyyiban) Becomes Mainstream

Kita tidak tak akan pernah lupa dengan kota Wuhan terutama pasarnya yang menjadi awal mula penyebaran virus. Khususnya kaum muslim, bayangan muram pasar Wuhan adalah wujud dari penyiapan dan pengolahan makanan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip halal dan thoyyiban. Maka COVID-19 pun membawa hikmah bagi kaum muslim, yaitu meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya halal dan thoyyiban.



#18. Paylater Solution


DI tengah kecemasan dan ketidakpastian akibat COVID-19, sebisa mungkin konsumen membatasi atau menunda pengeluaran yang bersifat cash. In time of crisis cash is king. 

Maka layanan paylater yang diberikan oleh bank, perusahaan fintech, dan platform ecommerce seperti GoPay, OVO, atau Tokopedia menjadi solusi bagi konsumen untuk berbagai transaksi. 



#19. The Future of Traveling

Bahkan ketika ancaman virus terus mengintai, kita tetap akan berlibur tapi dalam situasi dan kondisi yang bisa dikontrol dan tak terpapar virus. Travellers kian sadar melakukan self social distancing. Karena itu staycation  dan wellness tour akan menjadi pilihan. Travelling kian menjadi aktivitas individual bukan lagi grup. Niche tourism lebih berkembang daripada mass tourism. Dan virtual tourism dengan teknologi VR (virtual reality) akan berkembang pesat.  


#20. Virtual Experience Is the Nex Big Thing

Konser musik, event olahraga, hingga konferensi/pameran dibatalkan di seluruh dunia. Sebagai gantinya: virtual concert, virtual sport, virtual conference/seminar, virtual exhibition. Ketika self distancing bakal berlangsung lama, maka virtual experience akan menjadi sesuatu banget. Keunggulannya: “more efficent, more convenient, more personal”.



#21. The Emerging VirSocial

Aktivitas bersama-sama baik nongkrong, olahraga, senam, meditasi dan yoga, hingga nge-game dilakukan secara virtual. Kami menyebutnya “VirSocial” (virtual social). Beberapa minggu terakhir misalnya, marak aktivitas “nongkrong” temen-teman sekantor, sekampung, sekomunitas, atau sesama alumni SD hingga kuliah yang dilakukan via Zoom. Ini adalah kebiasaan baru yang sebelumnya tak dikenal.  


#22. Flexible Working Hours: From “9-to-5” to “3-to-2”

Dalam buku Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan, ke depan milenial “membunuh” jam kerja “9-to-5”. Rupanya Covid-19 membunuhnya lebih cepat. Dengan work from home  (WFH), karyawan bereksperimen menjalankan pola kerja flexible working hour (FWH). Maka jam kerja “9-to-5” nantinya akan berubah menjadi “3-to-2” yaitu jam kerja 3 hari di kantor dan 2 hari di rumah dalam seminggu. 



#23. The Birth of Zoom Generation

Kalau generasi milenial sering disebut “Instagram Generation” dan Gen-Z adalah “Snapchat Generation”. Maka setelahnya, kita akan menyongsong lahirnya “Zoom Generation”. Kalau generasi milenial dan Gen-Z tumbuh di tengah keajaiban teknologi digital (internet, media sosial, tech startup), Generasi Zoom tumbuh di tengah dunia yang rapuh oleh ancaman pandemi dan risiko hidup yang tinggi. Maka Zoom menjadi “the new Google”.



#24. Cloud Lifestyle

Kebiasaan baru work from home, tuntutan collaborative working, dan maraknya gig economy akan mendorong melonjaknya penggunaan platform sharing yang tersedia via cloud. Maka konsumsi layanan cloud baik SaaS (software as a services), IaaS (infrastructure as a services), PaaS (platform as a services) akan masuk babak baru pertumbuhan eksponensial. Tren ini akan memunculkan cloud lifestyle dimana karyawan bisa bekerja dengan aplikasi dan data yang tersimpan di cloud dan bisa diakses di manapun dan kapanpun. 



#25. Telemedicine: from Visit to Virtual

Blessing in disguise, krisis pandemi akan menjadi akselerator revolusi di dunia kesehatan yaitu telemedicine dan virtual health. Seperti halnya remote working dan online learning, konsumen dipaksa untuk mengadopsi gaya baru berobat yaitu secara virtual. 




#26. Online+Home-Schooling

COVID-19 memicu dua tren sekaligus dalam proses pembelajaran. Pertama pembelajaran secara online (“online-schooling”) dengan menggunakan platform digital. Kedua peran orang  tua yang semakin besar dalam proses pembelajaran anak (”home-schooling”). Saya menyebut dua tren ini: “online+home-schooling”. Online+home-schooling mengubah secara mendasar wajah dunia pendidikan ke depan.



#27. Ibadah Virtual

COVID-19 turut mengubah perilaku masyarakat dalam beribadah. Sholat berjamaah sementara tidak bisa dilakukan, begitu pula kebaktian atau ibadah di gereja. Solusinya adalah melakukan ibadah secara virtual. Untuk umat Nasrani bisa melakukan ibadah secara virtual dengan live streaming. Bagi umat muslim sholat jamaah di masjid diganti dengan sholat di rumah. Namun, dakwah atau pengajian masih bisa dilakukan secara virtual.



#28. The Rise of Empathy and Solidarity

Krisis COVID-19 merupakan bencana kemanusiaan paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu besar. Hikmahnya, COVID-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. COVID-19 telah menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta, dan welas asih terhadap sesamanya. Sesuatu yang langka ketika wabah belum mendera. 




#29. From Drone Parenting to Positive Parenting

COVID-19 bahkan mengubah pela pengasuhan anak (parenting style). Ketika work from home  memungkinkan orang tua banyak berkumpul dengan anak, maka pola pengasuhan yang efektif adalah “positive parenting“ dimana orang tua secara proaktif menjelaskan perilaku yang baik dan dan mengajak anak untuk sama-sama memahami situasi sulit ini. Ini berbeda dengan “drone parenting“ ala milenial yang membebaskan anak untuk mengeksplorasi banyak hal sementara orang tua memantau dari jauh.



#30. More Suffering, More Religious

Di tengah krisis COVID-19, agama menjadi tempat bersandar mencari ketenangan sekaligus harapan. Sebagian besar masyarakat menganggap krisis ini adalah bencana atau hukuman yang diberikan Tuhan, bahkan dianggap tanda-tanda hari akhir akan tiba. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, cobaan COVID-19 semakin mendekatkan mereka kepada Tuhan. Karena di tengah wabah ajal bisa setiap saat datang maka mereka memperbanyak amal-ibadah untuk bekal ke akherat.



REFRENSI:

https://amp.kompas.com/tren/read/2020/05/20/052500765/-populer-tren-mengenal-konsep-new-normal-fase-minimum-matahari-dan-dampak
https://iveybusinessjournal.com/publication/the-new-normal-requires-a-new-mindset/
https://nasional.okezone.com/amp/2020/05/13/337/2213181/muncul-istilah-new-normal-di-tengah-pandemi-covid-19-apa-itu
https://m.akurat.co/id-1119281-read-new-normal