5 Puisi Wiji Thukul Yang Membuat Orde Baru Geram dan Marah Besar


5 Puisi Wiji Thukul Yang Membuat Orde Baru Geram dan Marah Besar - Sejak awal 1980-an, Wiji Thukul sudah menulis puisi. Banyak karya yang lahir dari tangannya. Tapi bukan jenis “puisi salon”. Dia menggubah karya yang sarat pesan-pesan pemberontakan. Lewat puisi-puisnya, dia melawan.

Mendapati puisi-puisi semacam itu, pemerintahan Orde Baru (Orba) yang dikenal otoriter gerah. Ada lima karyanya yang betul-betul membuat Orba marah.


Peringatan–1986


Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh �
Itu artinya sudah gawat �
Dan bila omongan penguasa�
Tidak boleh dibantah� Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang�
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan�
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.


Bunga dan Tembok


Seumpama bunga�
Kami adalah bunga yang tak�
Kau hendaki tumbuh �
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga�
Kami adalah bunga yang tak�
Kau kehendaki adanya�
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga�
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga�
Engkau adalah tembok itu�
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji

�Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami�
Di manapun–tirani harus tumbang!


Penyair

—19 januari 1988

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!



Ucapkan Kata-katamu


jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput

atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen



Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa

–18 juni 1997

ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

Demikian lima karya-karyanya yang berani menantang Orba (Detiknews, “Puisi Wiji Thukul Yang ‘Menyengat’ Orde Baru”, 1 Juli 2014). Memang seperti itu dia. Bukan Wiji namanya kalau tak melawan. Tapi nasibnya malang. Pada, 27 Juli 1998 dia diculik entah oleh siapa, dan hilang tanpa kepastian sampai sekarang.