• Kelahiran
Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, yaitu Resi Durwasa.
Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa. Pada suatu hari, Kunti mencoba mantra tersebut setelah melakukan puja di pagi hari. Ia mencoba berkonsentrasi kepada Dewa Surya, dan sebagai akibatnya, sang dewa matahari tersebut muncul untuk memberinya seorang putra, sebagaimana fungsi mantra yang diucapkan Kunti.
Kunti menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Sebagai konsekuensinya, Kunti pun mengandung. Namun, Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.
Dalam bahasa Sanskerta kata karแนa bermakna "telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau "terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.
• Masa kecil dan pendidikan sebagai seorang ksatria
Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru. Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya.
Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena. Tak lama setelah itu, Kunti disunting Pandu dari Hastinapura dan berputra tiga orang: Yudistira, Bimasena (Bima), dan Arjuna. Bersama dua putra kembar Madri (istri kedua Pandu), mereka dikenal sebagai Lima Pandawa.
Basusena diasuh dan dibesarkan dalam keluarga kusir, sehingga ia dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri Adirata). Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru berkeinginan menjadi seorang perwira kerajaan.
Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik para Pandawa dan Kurawa, pangeran dari kalangan Dinasti Kuru. Drona menolak Radheya karena ia hanya sudi mengajar kaum kesatria saja.
Akhirnya Radheya memutuskan untuk mencari guru lain. Ia menyamar menjadi seorang brahmana agar mendapatkan pendidikan dari Parasurama, seorang brahmana-kesatria yang hanya mau menerima murid dari golongan brahmana. Parasurama adalah guru dari Bisma,sesepuh Dinasti Kuru dan Drona, sehingga Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari Drona.
Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum kesatria, sehingga Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa menjadi muridnya. Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna.
Agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sementara dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang kesatria asli.
Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.
•Di angkat menjadi raja dari wilayah Angga
Setelah para pangeran Dinasti Kuru menamatkan pendidikan, Drona mempertunjukkan hasil didikannya di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru.
Setelah melaui berbagai tahap pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna,Pandawa yang ketiga adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah.
Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku pendeta istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat.
Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk malu. Duryudana yang sulung di antara seratus Kurawa maju membela Karna. Duryudana berkata bahwa keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum kesatria saja. Ia menambahkan bahwa apabila peraturan mengharuskan demikian, maka ia sudah memiliki jalan keluar.
Ia mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra tidak mampu menolak permintaan putra kesayangannya itu. Pada hari itu juga, Karna resmi dinobatkan menjadi raja Angga.
Adirata muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang tahu bahwa Karna adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena mencemoohnya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan.
Sekali lagi Duryudana tampil membela Karna. Melihat situasi tersebut, Kunti jatuh pingsan di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengenalinya sebagai putra sulung yang pernah ia buang dari pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna. Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari. Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan antara Karna dan Arjuna dihentikan.
• Sayembara untuk mempersunting Drupadi
Drupadi adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryudana. Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut.
Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, tetapi tidak boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui bayangannya yang terpantul di dalam baskom berisi minyak.
Akan tetapi, jangankan membidik boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta tidak ada yang sanggup, termasuk Duryudana yang perkasa sekalipun.
Karna maju setelah sahabatnya mengalami kegagalan. Dengan penuh rasa hormat, ia berhasil mengenai sasaran sayembara. Tiba-tiba Drupadi menyatakan keberatan apabila Karna memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir.
Karna sakit hati mendengarnya. Ia menyebut Drupadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya. Ucapan Karna membuat Drupada merasa khawatir.
Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru untuk siapa saja yang ingin menikahi Drupadi, tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan olehnya.
• Balas dendam karna kepada Drupadi
Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Drupadi mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak akan membunuhnya.Duryudana pun memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Drupadi di depan umum. Namun, berkat pertolongan rahasia dari Sri Krihsna, Drupadi berhasil diselamatkan.
• Pemberian pusaka Indrastra (Vasavi shakti)
Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir melalui anugerah Dewa Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna sampai kalah jika bertanding melawan putra Surya itu.
Maka, Indra pun bersiasat merebut baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun. Rencana Indra diketahui oleh Surya.
Ia pun memberi tahu Karna, tetapi Karna sama sekali tidak risau. Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.
Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu menerimanya.
Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa Indrastra (Vasavi sakti) atau Konta (yang bermakna "tombak") sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka indrastra hanya bisa digunakan sekali saja, setelah itu ia akan hilang.
• Pencarian jati diri
Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu berakhir, para Pandawa pun muncul kembali untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan Indraprastha. Pihak Kurawa menolak dan memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengirim Krishna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam kesempatan itu, Krihsna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata.
Ia menjelaskan bahwa Karna dan para Pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, tentu Yudistira akan merelakan takhta Hastinapura untuknya. Setelah mengetahui kenyataan, Karna terkejut dan menghadapi dilema yang besar. Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya, yaitu membela Kurawa.
Ia tidak mau meninggalkan Duryudana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Krihsna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryudana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
Setelah pertemuan dengan Krihsna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti. Kunti menemui putra sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai.
Ia merayu Karna supaya mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
• Pertarungan karna vs Gatot kaca
Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Kurawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian besar sekutu Kurawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Karna tampil dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryudana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Ia pun mendesak Karna supaya menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun melepaskan Konta dan menewaskan Gatotkaca.
Sesuai janji Indra, Shakti Konta pun hilang hanya dalam sekali penggunaan. Krishna selaku penasihat pihak Pandawa merasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna bisa terselamatkan. Ia mengetahui kalau selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta untuk membunuh Arjuna.
• Di angkatnya menjadi Panglima pasukan Kurawa
Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryudana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna yang dikusiri Krihsna. Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengemudikan kereta ia gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.
Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, tetapi tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain.
Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Krishna. Krihsna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.
• Pertempuran Terakhir (kematian karna)
Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya.
Karna tidak peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun, kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama.
Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk mendorong keretanya agar kembali berjalan normal. Pada saat itulah Krihsna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan berada di bawah. Krishna mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga berlaku curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai mati pada hari ketiga belas.
Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang melesat mengenai leher Karna. Karna pun tewas seketika.
• Kehidupannya di nirwana
Mahabharata bagian akhir, atau Swargarohanikaparwa, mengisahkan perjalanan Yudistira naik ke surga. Di tempat yang serba indah itu ia merasa kecewa karena yang dijumpainya justru arwah para Kolurawa, bukan adik-adiknya. Ia kemudian diantar para Kingkara untuk menemui keempat Pandawa yang sedang mengalami penyiksaan di neraka.
Di tempat mengerikan itu, ia menjumpai arwah keempat adiknya sedang disiksa bersama para pahlawan besar lainya, misalnya Karna, Drestadyumna, Abimanyu, Satyaki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, Yudistira memilih berada di neraka daripada harus kembali ke surga. Tiba-tiba keadaan pun berbalik.
Yudistira dan para pahlawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam surga oleh para dewa sedangkan para penjahat, yaitu Kurawa masuk ke dalam neraka. Rupanya peyiksaan tersebut hanya bersifat sementara, selain untuk menguji keteguhan hati Yudistira, juga untuk membersihkan dosa-dosa para pahlawan semasa hidup di dunia dulu. Dengan demikian, meskipun sewaktu di dunia Karna hidup bersama para Kurawa, tetapi ketika berada di akhirat arwahnya berkumpul dengan para Pandawa.
> ๐๐๐ฌ๐ข๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐ฅ๐๐ง ๐๐๐ซ๐ข ๐ค๐ข๐ฌ๐๐ก
Sangat mengharukan memang kisah raja karna ini,di buang oleh ibunya (namun tetap berbakti kepada kedua ibunya) sikap ini tentu patut di contoh oleh kita ya guys,sangat setia kawan juga,sebernya karna tau dia berada di jalur ketidak benaran para Kurawa,tapi dia tetap setia kepada sahabat nya dan tidak menghianati mereka sama sekali,.
Perjalanan hidupnya penuh dengan pencarian jati diri dan penghormatan serta penghargaan dari orang-orang,dia ingin membuktikan bahwa putra seorang kusir sekalipun bisa menjadi kesatria legenda hingga namanya di kenang hingga akhir zaman.
Source :
- kitab Mahabharata
- kitab Bhagavad Gita
- Wikipedia Indonesia
- Kompasiana.com