Lantunan Indah Shalawat Tarhim, dari Kairo Hingga Solo


Lantunan Indah Shalawat Tarhim, dari Kairo Hingga Solo - Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika, Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian pertamanya.

Kepingan piringan hitam tersebut rapi terselip di sela deretan kepingan piringan hitam lainnya di ruang dokumentasi Studio Rekaman Lokananta di Jalan Ahmad Yani, Solo. Sampulnya sederhana saja, berwarna putih dengan garis biru. Ada tulisan "Pengadjian Al-Quran Al Shaikh Mahmud Al Husari, Cairo Mesir" di situ.

Republika diperkenankan mendengarkan bunyi isi piringan hitam itu saat mengunjungi Lokananta beberapa waktu lalu. Beberapa detik setelah piringan diputar, Shalawat Tarhim yang diteruskan azan khas yang dikumandangkan Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary hingga muratal Alqurannya begitu jelas terdengar. Bebunyian yang keluar dari piringan hitam itu masih jernih.

Lokananta tak hanya memiliki sekeping piringan hitam berjudul “Pengadjian Al-Quran Al Shaikh Mahmud Al Husari, Cairo Mesir”. Ada beberapa piringan yang memuat suara Syekh Al-Husary. Isinya berbeda, terdapat piringan yang memuat murotal Surah ar-Rahman I dan II serta serta surat-surat lainnya yang dilantunkan Syekh Al-Husary. Setiap piringan mempunyai durasi waktu putar berbeda-beda.

Lokananta menjaga baik salah satu koleksi bersejarah itu. Sebab menurut Koordinator Produksi sekaligus Remastering Audio Lokananta, Bembi Ananto suara khas Syekh Al-Husary menjadi populer di telinga umat muslim Indonesia terutama sejak piringan itu diputar dan disebarkan luas melalui Radio Republik Indonesia (RRI).

Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary lahir di Desa Shubra An Namlah yang berada di kota Tanta, Gharbia, Mesir. Ia lahir pada 30 Dzul Qa’idah 1335 Hijriyah atau pada 17 September 1917. Seperti dilansir Albawabh News di tempat asalnya, penggubah Shalawat Tarhim itu dikenal dengan sebutan Al Husory, nama itu julukan untuknya sebab beliau selalu beriktikaf di masjid dan duduk di atas sebuah alas yang terbuat dari anyaman tikar atau Al Husory. Sejak usianya baru delapan tahun, Syekh Hussary telah mampu menghafalkan 30 juz Alquran.

Ia pun pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir hingga memperoleh ijazah Al Qira’at Al ‘Asyr atau kiraat yang sepuluh. Ia pun menguasai sepuluh jenis qiro’ah. Syekh Al-Husary menjadi tokoh Mesir yang berdakwah ke berbagai negara melalui ayat-ayat yang dilantunkannya dengan indah. Ia juga kerap mendampingi Grand Syekh Universitas Al Azhar, Mahmud Shaltut, ke berbagai negara.

Syekh Al-Husary terkenal dengan bacaan Alquran-nya yang indah, terutama sejak ia rutin mengisi siaran Alquran di sebuah stasiun radio di Mesir sekitar tahun 1944. Dari siaran tersebut, suara khasnya dikenal umat Islam. Safari dakwahnya berlangsung hingga usianya menginjak umur 55 tahun. Dilansir dari Alyaumu Sabi’ Sinai, Syekh Al-Husary menjadi tokoh ulama Mesir yang pertama kali diutus untuk mengunjungi Muslim India dan Pakistan sekitar 1960-an.

Setahun setelahnya, Syekh Al-Husary kembali datang ke India dan melantunkan qiraat dalam Mukhtamar Umat Islam India yang pertama. Keindahan qiraat yang dibawakannya pun didengarkan langsung presiden kedua Mesir, Gamal Abdul Nashir dan Perdana Menteri India Jawarhalal Nehru. Di tahun yang sama, Syekh Al-Husary juga merampungkan tulisan mushaf murottal yang dikenal dunia dengan riwayat Hafsh dari Ashim. Tiga tahun berikutnya, yakni pada 1964, ia juga menyelesaikan tulisan mushaf dengan riwayat Warosy dari Nafi.

Pada 1968, Syekh Hussary membuat rekaman murotal Alquran dengan riwayat Qalun dan Addury dari Abi Amr Albashr. Dilanjutkan tahun berikutnya dengan membuat rekaman qiraat untuk disebarluaskan dikalangan pelajar di berbagai negara. Syekh Al-Husary juga menjadi tokoh pertama yang melantunkan ayat suci Alquran di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1977.

Tak hanya itu, keindahan murotal Alqurannya pernah diperdengarkan kepada keluarga istana Kerajaan Inggris pada 1978. Sebelum wafat, Syekh Al-Husary mendirikan masjid, pondok pesantren dan madrasah bagi para penghafal quran di tempat kelahirnanya di Desa Shubra An Namlah. Syarkh Al-Husary pun mewariskan sepertiga hartanya untuk membantu pengembangan pendidikan para penghafal Alquran.

Syekh Al-Husary meninggal dunia di kediamannya di Kairo pada 24 November 1980, selepas Shalat Isya. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh,” adalah kata-kata terakhirnya. Sebuah doa agar kesejahteraan, kedamaian, dan rahmat Allah dicurahkan untuk semua.